Rabu, 16 Juli 2025

MUI Haramkan BPJS, Pemerintah Mewajibkan

JAKARTA- Walaupun Majelis Ulama Indonesia (MUI)  telah mengharamkan asuransi kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)  yang dijalankan oleh Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun masyarakat tidak punya pilihan lain selain mematuhi perintah undang-undang yang mewajibkan seluruh rakyat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hal ini disampaikan oleh Ketua DKR Jabodetabek, Roy Pangharapan kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (29/7).

 

“Tentu saja MUI punya dasar alasan agama yang kuat untuk mengharamkan BPJS. Rakyat kita yang mayoritas muslim sekarang menghadapi dilema. Islam mengharamkan tapi negara dan pemerintah justru memaksa rakyat agar ikut asuransi BPJS. Kalau tidak ikut, rakyat kena sanksi,” ujarnya.

Ia berharap agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) yang dapat membebaskan seluruh rakyat dari pembayaran premi asuransi BPJS kesehatan yang diharamkan oleh MUI itu. BPJS Kesehatan menurutnya merupakan badan pengumpulan dana untuk kepentingan bisnis, bukan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Badan ini dibentuk oleh Undang-undang No 40/2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang No 24/2011 Tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

“Dana masyarakat ditarik lewat pembayaran premi, uang negara diambil dari APBN dan APBD. Sebaliknya, hak rakyat atas kesehatan telah menjadi kewajiban bayar asuransi BPJS. Selain melanggar UUD’45, ternyata juga diharamkan oleh agama,” ujarnya.

Hal yang sama, juga disampaikan oleh Ketua DKR Bangkalan, Madura, Mohammad Muhyi. Menurutnya BPJS memang mengandung riba dan maysir. Seluruh premi yang dibayarkan menjadi milik BPJS. Klaim hanya bisa diajukan dan dikabulkan saat sakit.

“Naamun saat peserta sehat tidak bisa klaim, dan menjadi kerugian peserta. Inilah unsur maysir yang terjadi dalam BPJS,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan unsur riba dalam skema asuransi BPJS ini. Denda yang diterapkan bagi mereka yang telat membayar iuran adalah kelebihan yang diperjanjikan dan hal tersebut merupakan riba.

“Lebih jauh lagi, rakyat seolah-olah dipaksa makan riba dari pengolahan dana investasi BPJS ini. Kita sudah kalkulasikan ada sekitar Rp 6, 912 triliun yang nantinya dikelola pemerintah,” ujarnya.

Ia menjelaskan dana sebesar ini masih diinvestasikan ke sektor-sektor konvensional berbasis bunga, seperti deposito berjangka, surat utang, obligasi korporasi, reksadana, properti, dan penyertaan langsung.

“Melihat keputusan investasi di atas, maka dana yang kemudian dikembalikan kepada rakyat dalam hal pelayanan kesehatan ini sudah terkontaminasi riba yang berkedok bunga,” jelasnya.

Dana yang terkumpul di BPJS Kesehatan bukanlah dana yang kecil. Pada Januari 2015 sudah terkumpul 135.420.517 peserta. Sebanyak 86.500.000 peserta adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai pemerintah. Maka, dengan asumsi besaran iuran terkecil Rp 25.500 dikalikan dengan jumlah peserta saat ini, dana yang sudah terkumpul di BPJS adalah sekitar Rp 3,453 triliun.

Seluruh rakyat Indonesia sudah sudah terdaftar di BPJS Kesehatan pada tahun 2019 nanti. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di tahun 2020, Indonesia mengalami bonus demografi dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 271.066.400. Maka besar dana yang terkumpul di BPJS minimal bisa mencapai Rp 6,912 triliun.

Unsur Riba

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (masalah fikih kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan dijelaskan dalam situs resmi mui.or.id, Senin (27/7/2015).

Menurut MUI, kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun, setelah diperhatikan, secara umum program BPJS Kesehatan khususnya transaksi yang dilakukan oleh BPJS bertentangan dengan syar’i karena apabila terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan hukum, MUI menyatakan penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru