Oleh: Much. Fatchurochman
PENTAS dua malam yang menghibur politisi ini menarik menandai perjalanan cerita demokrasi di tanah air. Naskah panjang “Musuh Bebuyutan” sebenarnya butuh waktu untuk menikmati sampai tuntas bagaimana gemerlap panggung mampu melahirkan “cerita kuasa” juga “cerita kotak suara”.
Ada banyak hal hal di luar naskah yang dihadirkan baik secara improvisasi maupun rekayasa logika dramaturgi yang biasa dihadirkan dalam panggung teater.
Sebagai produk tontonan dan hiburan, setidaknya seniman yang tampil di panggung selama dua hari pementasan di Taman Budaya Yogyakarta, 23-24 Januari 2024 oleh penulis naskah Agus Noor dibuatkan lakon dan narasi yang dekat dengan keseharian.
Membungkus dan kemas secara jenaka problema kehidupan kebangsaan Indonesia menjadi lakon teater dengan menciptakan tawa yang cukup berhasil. Boleh jadi karena pemain yang terpilih naik panggung adalah nama-nama besar dalam jagat panggung hiburan teater. Sebut saja Yu Beruk, Cak Lontong, maestro pemain ketoprak tobong Marwoto Kawer sampai Inayah Wahid yang mampu menciptakan tawa berkepanjangan.
Sejatinya, panggung “Musuh Bebuyutan” menjadi tempat kembali Dagelan Mataraman yang serba jenaka sebagai daya pikat tontonan. Butet Kertarejasa (yang pernah lekat dengan raja monolog “Lidah Pingsan”) dalam pentas kali ini dipilih sutradara sebagai Pak Lurah yang mendorong calon kandidat di PILU (pilihan lurah) mau maju. Di lingkaran cerita seputar berebut suara guna modal kemenangan Pilu itulah narasi cerita dibangun sebagai pondasi lakon.
Sebagai bentuk pementasan teater, durasi panjang tontonan sebenarnya berat juga mengikuti alur cerita panjang. Sutradara “Musuh Bebuyutan” memilih tema kehidupan keseharian dan problemnya vs narasj para pemimpin yang tengah berebut pengaruh, berebut suara untuk menang pemilihan.
Tak jauh berjarak dengan realitas politik, pentas (kata Susilo) ada yang tidak sesuai pakem cukup beresiko. Musuh Bebuyutan mengingatkan dan menjadi cermin banal kondisi terkini rakyat jelata di tengah ricuhnya politik menuju hari-H momen politik pemilihan umum.
Siapkah yang menang di dalam kontestasi pemilihan lurah (bahasa plesetan pemilu) kali ini? Siapakah teman dan musuh bebuyutan seperti apa yang perlu diwaspadai.
Ada Mas Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di hari kedua pentas musuh bebuyutan ini, setelah sebelumnya Anies Baswedan juga menonton. Hanya pasangan Prabowo Subianto dan Gibran yang absen tak menonton, padahal sumber kelucuan penuh gimmick terinspirasi dari pasangan ini. Di waktu yang sama lebih memilih ada di panggung milik Gus Iqdam.
Apakah mereka ini pendukung kuat Pak Lurah sepuh? Sampai mau menyempatkan menonton pentas teater hingga akhir cerita. Jelas itu soal pilihan selera dan rasa percaya.
Hal yang pasti di luar panggung gemerlapnya pertunjukan (kontestasi kuasa) PILU, ada hal hal dasar dan problema kebangsaan yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama, siapa saja yang menang nanti, wajib bertanggungjawab. Hal hal apa saja? Berbeda pilihan itu biasa saja, kalau ada penguasa lupa janji, masih saja korupsi lupakan dan abaikan saja. Mari tertawakan perilaku buruk nya. Sebab tertawa rasanya jadi pilihan melawan kuasa.
Kira kira kok begitulah.
*Penulis Much. Fatchurochman, budayawan, penulis
#ceritapinggirjalan
#isupublik
#MusuhBebuyutan
#connected
#NyanyikanPesanmu
#PasarBisaDiciptakan
#CintaIndonesia