Rabu, 21 Mei 2025

Musuh Terburuk Kultur Indonesia!

Ambassador Freddy Numberi, Laksamana Madya TNI (Purn). (Ist)

Orang Asli Papua (OAP) belum dapat menikmati hasil dari Otonomoi Khusus terutama masyarakat akar rumput. Karena pembangunannya yang ada tidak tumbuh dalam keberpihakan kepada OAP dan berakar pada budaya/adat mereka. Ambassadors Freddy Numberi, Laksamana Madya TNI (Purn),  mantan Gubernur Papua, Pendiri Freddy Numberi Foundation menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Ambassador Freddy Numberi, Laksamana Madya TNI (Purn)

SEJAK lengsernya Presiden RI ke-2 Soeharto, pada tanggal 21 Mei 1998, reformasi yang digelorakan saat itu, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan “matinya” gagasan-gagasan politik yang cemerlang sehingga membunuh pembaharuan yang ingin dicapai Bangsa Indonesia.

Ini juga terefleksi pada desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah dalam bentuk otonomi yang diperluas maupun otonomi khusus tidak berjalan. Sebaliknya Pemerintah Pusat terkesan enggan melepas kewenangan-kewenangan sesuai ketentuan yang ada, malah cenderung sentralistik seperti masa Pemerintahan Orde Baru.

Kita tidak berpedoman pada konstitusi dan taat azas melainkan lebih pada ego sektoral, karena kurang memahami masalah-masalah kebangsaan.

Soekarno dan Hatta sebagai Founding Fathers negeri tercinta telah meletakkan dasar-dasar kebangsaan Indonesia yang harus bersendi kemanusiaan dan keadilan serta bersumber pada Pancasila sebagai Falsafah Hidup Bangsa Indonesia.

Bung Karno menyatakan bahwa Nasionalisme Indonesia harus dibangun berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki (Sulaiman Effendi, Kiprah dan Pemikiran Politik Tokoh-Tokoh Bangsa, 2014:hal. 49).

Dalam perjalanan waktu hingga dewasa ini kita alami bahwa Nasionalisme Indonesia sudah keluar dari ruhnya sejak awal kita merdeka yaitu nasionalisme berdasarkan kepentingan kelompok tertentu untuk keuntungan ekonomi mereka belaka.

Bung Karno menyebutnya sebagai nasionalisme fanatik dan menurut Natsir, nasionalisme fanatik ini bisa mengarah kepada fasisme.

Nasionalisme Indonesia harus mampu mengikuti perubahan dunia atau globalisasi dewasa ini sehingga selalu kontekstual dengan perkembangan yang ada.

Setelah reformasi Indonesia membutuhkan suatu sistem pemerintahan yang menerjemahkan prinsip rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, kedalam sistem politik dan hukum baru yang mampu membentengi pengaruh kekuatan uang (baca: korupsi) dalam sistem penyelenggaraan Negara secara nyata.

Untuk itu dibutuhkan peningkatan pertahanan sistem nilai agar tidak terjerumus dalam perangkap musuh terburuk dari kultur, yaitu “uang”, dewa pembina ekonomi (Daoed Joesoef, Studi Strategi, Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional,2014:hal. 49).

Demokrasi yang kita dengung-dengungkan saat reformasi jangan hanya sekedar formalitas dan retorika belaka, tetapi betul-betul harus dirasakan oleh masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan kepentingan politik maupun uang.

Kusutnya persoalan kebangsaan Indonesia dewasa ini karena tidak berkembangnya gagasan-gagasan yang luar biasa untuk melaksanakan otonomi maupun otonomi khusus yang ada secara murni dan  konsekuen, termasuk menegakkan hukum sesuai kewenangan yang diatur dalam konstitusi.

Contoh, Otonomi Khusus Papua sesuai UU nomor 21 tahun 2001 tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat Papua (baca: Orang Asli Papua/OAP). Akumulasi dana Otsus untuk Provinsi Papua sejak tahun 2006-2020 sebesar Rp 93,05 triliun dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2009-2020 sebesar Rp 33,94 triliun. Namun belum dapat dinikmati oleh OAP terutama masyarakat akar rumput, karena pembangunannya yang ada tidak tumbuh dalam keberpihakan kepada OAP dan berakar pada budaya/adat mereka.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait realisasi penggunaan dana Otsus oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat (Kompas.com, 26/02/2020).

Dalam penjelasan lebih lanjut, Wamenkeu Suahasil Nazara di DPD RI, menyebutkan bahwa terdapat indikasi penyalahgunaan dana Otsus oleh Pemerintah Daerah, diantaranya adanya pengeluaran Rp 556 miliar yang tidak didukung data yang valid serta pengeluaran Rp 29 miliar untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan. Selain itu ada juga dana Otsus yang didepositokan sebesar Rp 1,85 triliun.

Bagi masyarakat awam jangan hanya pemberitaan melalui media saja dan terkesan hanya wacana, tetapi harus ada tindakan tegas dan nyata oleh pemerintah melalui Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak dengan tegas oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan tersebut. Karena BPK telah memiliki data yang akurat tentang hal ini.

Kita harus memiliki kultur yang bernilai tinggi berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki dan bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebab kehancuran perang kultural jauh lebih buruk dari pada penghancuran perang ekonomi.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru