JAKARTA- Dari 35 provinsi di Indonesia, terdapat enam besar provinsi “penyumbang” konflik agraria di tahun 2015. Propinsi-propinsi itu adalah Riau sebanyak 36 konflik (14,4%), Jawa Timur 34 konflik (13,6%), Sumatera Selatan 23 konflik (9,2%), Sulawesi Tenggara 16 konflik (6,4%), Jawa Barat dan Sumatera Utara 15 konflik (sama-sama 6,0%) dan Lampung 12 konflik (4,8%). Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (6/1).
“Sejak masa transisi pemerintahan baru, publik telah berharap perubahan dari pemerintahan Joko Widodo yang akan menjadi pembeda antara rezim sebelumnya di bawah kepemimpinan SBY dalam mengurus masalah-masalah akut agraria nasional,” ujarnya.
Namun menurutnya, sama halnya di tahun 2014, Provinsi Riau kembali menjadi penyumbang konflik agraria di tahun 2015 Ekspansi perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit masih menjadi penyebab utama konflik agraria di provinsi ini, sebagai akibat dari putusan pejabat publik yang memberikan ijin-ijin konsesi kepada perusahaan di atas tanah-tanah yang sesungguhnnya telah dikuasai dan digarap warga setempat.
Sementara Jawa Timur dari tahun ke tahun selalu menempati posisi dua terbesar sebagai provinsi dengan jumlah konflik agraria terbanyak. Pada umumnya konflik agraria yang terjadi di Jawa berkaitan dengan penguasaan tanah oleh PTPN, monopoli hutan Jawa oleh pihak Perhutani dan perluasan proyek-proyek pembangunan infrastruktur berupa jalan tol, perumahan, waduk, dan lain-lain yang tumpang-tindih dengan garapan dan pemukiman masyarakat. Sedangkan konflik agraria di Sumatera didominasi oleh konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan, baik PTPN dan perusahaan perkebunan swasta.
Iwan Nurdin mengingatkan bahwa Presiden adalah pelaksana mandat konstitusi untuk mengatur “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945). Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan TAP MPR IX/2001 pun telah lama mempertegas kembali amanat Pasal 33 UUD 1945 tersebut, dengan memberi mandat kepada pemerintah untuk merombak struktur agraria yang timpang dan monopolistik, melalui agenda pembaruan agraria dan penyelesaian konflik agraria.
“Sayangnya, satu tahun Jokowi-JK belum juga menujukkan tanda-tanda komitmen yang kuat dan konsisten untuk melaksanakan amanat hukum tersebut, termasuk memenuhi janji politiknya di sektor agraria, yakni penyelesaian sengkarut persoalan agraria,” ujarnya.
Cara-cara Keji
Di penghujung tahun 2015, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kembali melaporkan situasi agraria di Tanah-Air dalam bentuk Catatan Akhir Tahun 2015 Konsorsium Pembaruan Agraria. Sebuah rekaman situasi agraria nasional berdasarkan hasil monitoring, analisis dan rumusan pandangan politik KPA atas dinamika kebijakan agraria nasional yang dijalankan pemerintah serta gambaran krisis agraria di lapangan sepanjang tahun 2015.
Meskipun pertumbuhan ekonomi dikabarkan melambat dan harga-harga komoditas perkebunan dan pertambangan dikabarkan jatuh sepanjang tahun 2015, nampaknya perusahaan-perusahaan tidak banyak yang menunda ekspansi perluasan lahan mereka. Peluasan kebun skala besar terus berlanjut, bahkan menggunakan cara-cara yang keji seperti membakar lahan sehingga menyebabkan bencana cabut asap selama beberapa bulan di tahun 2015.
Jumlah konflik agraria sepanjang tahun 2015 secara luasan, kejadian, dan korban yang diakibatkan masih sangat tinggi. Konflik agraria yang dibiarkan berserakkan tanpa penyelesaian yang jelas dan adil telah mengakibatkan pelanggaran HAM yang serius di Indonesia.
Selain itu, sepanjang tahun ini keberpihakan pemerintah, aparat keamanan, elit politik terhadap korporasi perampas tanah masih saja menghiasi wajah konflik agraria. Keadaan ini selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, cacat dan dan luka, tindakan penangkapan (kriminalisasi) terhadap petani dan pejuang agraria terus berlangsung di bawah kepemimpinan Jokowi-JK. (Web Warouw)