JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) M. Guntur Hamzah mengatakan, konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mewajibkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar. Hal itu dikatakan Guntur dalam sidang gugatan perkara gugatan uji materi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Selasa (23/7/2024).
“Karena konstitusi kita sudah memberikan rambu-rambu bahwa pemerintah wajib membiayai untuk pendidikan dasar dan setiap warga negara wajib ya mengenyam pendidikan dasar,” kata Guntur dalam sidang, dikutip dari akun YouTube MK, Selasa (23/7/2024).
Guntur menjelaskan, kewajiban negara menanggung semua biaya pendidikan dasar dari jenjang SD hingga SMP tertuang pada Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945.
Pemerintah penuhi kewajiban membiayai pendidikan dasar Pembiayaan itu, kata Guntur, juga harus diambil dari total anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah, yakni 20 persen.
Pemerintah, kata Guntur, juga harus menghitung ulang apakah dana pendidikan saat ini cukup atau tidak untuk menanggung semua biaya pendidikan dasar. Sebab, apa pun situasinya, pemerintah harus memenuhi kewajiban membiayai pendidikan dasar untuk semua warga negara.
“Pemerintah wajib membiayainya dari 20 persen tadi minimal,” ujarnya.
Menurut Guntur, seharusnya anggaran pendidikan diprioritaskan untuk membiayai atau menggratiskan pendidikan dasar dengan tanpa membedakan sekolah negeri atau swasta. Apabila ada kelebihan dana, baru bisa digunakan untuk membiayai keperluan pendidikan lainnya.
“Kalau masih ada anggaran di situ, ya silakan untuk pendidikan-pendidikan menengah, tinggi, dan sebagainya itu. Sekolah kedinasan dan sebagainya,” ungkapnya.
“Penting ya, kewajiban konstitusi bagi pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar itu tanpa melihat atributnya, statusnya,” tandas Guntur.
MK juga menegaskan masih akan meminta pandangan pihak lain sebelum membacakan putusannya atas uji materi UU Sisdiknas ini.
Negara Mulai Lepas Tanggung Jawab
Kepasa Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Wakil Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Saldi Isra menyoroti sikap negara yang menurutnya mulai mengabaikan sektor pendidikan meskipun hal tersebut jelas-jelas merupakan amanat konstitusi UUD 1945.
Saldi berpandangan, sikap lepas tanggung jawab negara itu tercermin dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengenyam pendidikan.
“Sekarang ini, terus terang, negara mulai mau melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan ini,” kata Saldi dalam sidang lanjutan uji materi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di MK itu.
“Coba bayangkan, ada sekarang UKT (uang kuliah tunggal) sampai Rp 50 juta. Kita bisa bayangkan, enggak? Seberapa mungkin orang miskin bisa mencapai itu?” ujar dia.
Saldi mengakui, konstitusi menekankan bahwa prioritas negara untuk pendidikan sejauh ini adalah tingkat pendidikan dasar.
Namun demikian, negara juga dianggap tidak boleh lepas tangan pada pendidikan menengah dan tinggi meski penyelenggaraan pendidikan pada SD dan SMP juga semakin memberatkan.
Saldi bercerita bahwa angkatannya dulu cukup bersekolah dengan datang ke sekolah. Mayoritas kebutuhan bersekolah, sesederhana buku-buku pelajaran, disediakan tanpa perlu membeli.
“Sekarang yang jadi problemnya, sudah disebutkan di konstitusi anggaran pendidikan itu minimal 20 persen dengan memprioritaskan kepada pendidikan dasar 9 tahun, tapi justru sekarang soal buku dan kebutuhan itu menjadi tanggung jawab peserta didik dan orangtuanya,” ujar profesor asal Solok, Sumatera Barat itu.
“Jadi, dalam konteks itu sebetulnya kita mengalami kemunduran. Terbayang, enggak, kita sekarang orangtua harus memikirkan pakaian anak, kebutuhan sekolah lain, kebutuhan buku dan lain sebagainya,” kata dia menambahkan.
Saldi lantas meminta agar ahli dalam sidang ini, Nina Felicia dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), menyampaikan model-model serta proyeksi pembiayaan pendidikan. Sebab, perintah UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa visi bernegara salah satunya ialah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan pemerintah harus memprioritaskan pendidikan dasar tanpa melihat negeri dan swasta.
“Soal pendidikan itu tidak terlalu meenjadi perhatian sungguh-sungguh sih sebetulnya dari awal Kemerdekaan sampai hari ini. Belum pernah saya menemukan satu rezim pemerintahan yang visinya memang pendidikan betul,” ujar Saldi.
MK Panggil Kemenkeu dan Bappenas
Mahkamah Konstitusi (MK) akan memanggil Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk membahas gugatan agar SD-SMP gratis untuk sekolah negeri maupun swasta.
“Hari ini ternyata bukan sidang terakhir, karena MK masih akan mendengar dari Kementerian Keuangan dan Bappenas. Ini atas inisiatif dari Mahkamah Konstitusi. Biar kami bersurat ke menteri saja,” kata Ketua MK Suhartoyo menutup sidang lanjutan uji materi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di MK itu.
Sidang lanjutan dengan menghadirkan Kemenkeu dan Bappenas akan digelar lagi pada pekan depan, Kamis (1/8/2024).
Dalam sidang hari ini, hadir saksi Kepala Biro Perencanaan Kemdikbudristek, Vivi Andriani, dan ahli dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia. Vivi mengungkapkan bahwa pemerintah membutuhkan kekurangan dua pertiga anggaran guna menggratiskan pendidikan tingkat SD dan SMP baik pada sekolah swasta dan negeri.
Ia memaparkan, total kebutuhan dana untuk menyelenggarakan pendidikan SD-SMP negeri dan swasta mencapai Rp 655,2 triliun.
Disdik Perkiraan biaya untuk sisi personalia dan operasional sendiri ditaksir mencapai Rp 354 triliun, terbagi atas Rp 287,6 untuk satuan pendidikan negeri dan Rp 66,4 triliun untuk satuan pendidikan swasta.
Kemudian, perkiraan biaya sarana dan prasarana, meliputi kebutuhan rehabilitasi, peralatan, laboratorium dan perpustakaan, hingga penambahan sekolah dan ruang kelas baru, ditaksir tembus Rp 301,2 triliun, terbagi atas Rp 201,9 triliun untuk SD dan Rp 99,3 triliun untuk SMP.
Dari kebutuhan Rp 655,2 triliun itu, anggaran penyelenggaraan pendidikan jenjang SD dan SMP (negeri dan swasta) pada 2024 hanya Rp 236,1 triliun.
Oleh karena itu, masih ada kebutuhan Rp 418,1 triliun untuk pemerintah menggratiskan SD-SMP negeri dan swasta.
Kemdikbudristek juga mengungkap hanya mengelola 15 persen dari Rp 665 triliun dana untuk sektor pendidikan yang dibelanjakan pemerintah pusat. Sebanyak Rp 346,6 triliun (52 persen) ditransfer ke pemerintah daerah. Sisanya, dana itu dibagi ke sejumlah kementerian/lembaga yang juga melaksanakan fungsi pendidikan, Kementerian Agama (pesantren), anggaran pendidikan pada belanja non kementerian/lembaga, dan pengeluaran pembiayaan.
Dalam uji materi UU Sisdiknas ini, Jaringan Pemantau Pendidik Indonesia (JPPI) meminta agar Pasal 34 ayat (2) UU tersebut tidak hanya mewajibkan pendidikan dasar (SD-SMP) gratis di sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta.
Menurutnya, sekolah swasta tidak wajib gratis bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Mereka juga mempersoalkan tingginya angka putus dan tidak sekolah di saat anggaran pendidikan juga semakin tinggi.
Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah, menurut JPPI, masih berupa belas kasihan atau bantuan negara, alih-alih kewajiban negara.
Banyak Siswa Miskin Ditolak di Sekolah Negeri
Sebelumnya diberitakan, massa menggelar aksi di depan Balai Kota Depok. Mereka menuntut agar proses pendaftaran peserta didik baru (PPDB) di Depok dihentikan sementara karena menurutnya banyak siswa miskin di Depok tidak diterima di sekolah negeri di Depok.
Pantauan di Balai Kota Depok, Jalan Margonda Raya, Kamis (2/7/2020), massa didominasi oleh kaum wanita. Mereka datang sambil membawa spanduk mereka meminta PPDB Depok diperbaiki.
Spanduk yang dibawa bertuliskan ‘Tunda Segera PPDB SMA/SMK di Kota Depok’, ada juga meminta PPDB SMP Depok ditunda. Mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan ‘aksi solidaritas DKR Kota Depok, Untuk Siswa Miskin di Kota Depok’.
Salah satu perwakilan massa, Ketua DKR, Roy Pangharapan mengatakan tujuan mereka menggelar aksi. Mereka menuntut Wali Kota Depok M Idris memberhentikan sementara PPDB di Depok.
“Kami melakukan aksi advokasi dalam rangka solidaritas siswa miskin di sekolah negeri. Kita minta supaya proses PPDB ini carut marut kita minta supaya dihentikan sementara. kemudian semua negeri bisa diterima,” kata Ketua DKR, Roy Pangharapan, saat ditemui di lokasi.
Roy mengatakan sebelum massa demo di depan Balai Kota Depok, mereka juga long march ke SMAN 1 Depok. Dalam aksi ini, dia meminta agar Pemkot Depok memprioritaskan warga miskin masuk ke sekolah negeri.
“Seharusnya siswa miskin akomodir di sekolah negeri, karena sekolah negeri disubsidi 100% pemerintah. Gurunya dibayar pemerintah, sekolahnya dibangunin pemerintah, operasional nya dikasih pemerintah. Mau buat siapa? Kalau enggak yang miskin dipioristaskan, gitu kan, kalau subsidi tepat sasaran,” ucapnya.
Sampai hari ini Rabu (24/7) para siswa miskin di Depok belum bisa bersekolah. Walaupun pihak DKR telah mendatangi Istana Presiden beberapa waktu lalu.
Pemerintah Kota Depok juga sudah menyurati pemerintah Provinsi Jawa Barat agar dibukakan jalur optimalisasi bagi sisea miskin dan tak mampu.
Nampaknya pemerintah memang tutup mata terhadap nasib para sisea miskin di Indonesia yang ditolak bersekolah. (Web Warouw)