Selasa, 11 Februari 2025

Sistem Bicameral Indonesia Tanpa Roh: Akibat UUD Jiplakan Dari AS


Oleh: Daniel D. Tagukawi*

SISTEM dua kamar (bicameral)—DPR dan DPD merupakan jiplakan sistem bicameral (Senat dan DPR) di Amerika. Ini pengakuan Wakil Ketua Panitia Adhoc (PAH) I BP MPR, Harun Kamil.

Sebenarnya, tanpa pengakuan pun, berbagai kalangan sudah paham soal itu. Toh, kalaupun menjiplak bukan dosa, sejauh itu memang positif. Hanya saja, bisa menjadi soal kalau menjiplak sekadar menjiplak tanpa tahu mengapa, dari mana, untuk apa dan mau ke mana. Pasti, MPR memahami dan mengetahui hal itu.

Secara anatomi politik, memang sangat sulit untuk menerapkan sistem bicameral Amerika ke dalam sistem politik di Indonesia. Karena, baik sistem politik maupun pemerintahan yang berbeda.

Misalnya, sistem bicameral Amerika sangat terkait dengan sistem federal. Untuk itu, bicameral mungkin baik bagi Amerika, tapi belum tentu cocok bagi Indonesia.

Menyimak latar belakang keberadaan sistem bicameral Amerika, sesungguhnya sistem itu lahir dari pergulatan politik dari elit politik Amerika. Sistem itu lahir sebagai solusi untuk meredam pertentangan elit mengenai pola perwakilan dalam Konggres AS, ketika menyusun konstitusi.

Untuk itu, sangat menarik untuk menyimak catatan David Cushman Coyle (1955), terutama mengenai latar belakang adanya senat dan House of Representative (DPR) dalam konggres.

Dari catatan itu, jelas kalau sistem bicameral Amerika lahir dari pengalaman dan situasi, bukan dari teori politik, apalagi menjiplak seperti yang dilakukan anggota MPR.

Tahun 1774, Amerika menggelar Konggres Kontinental yang pertama. Konggres ini merupakan respon terhadap konflik yang kian menajam dengan Inggris, yang saat itu menduduki Amerika. Konggres Kontinental ini merupakan langkah bagi Amerika, sehingga pada tahun 1776, Konggres Kontinenal mensahkan deklarasi kemerdekaan.

Kemudian, pada 1777, Konggres menerima usul untuk suatu negara uni federal bagi Amerika, yang selanjutnya dikirim ke seluruh negara bagian untuk diratifikasi.

Sekitar empat tahun kemudian (1781), hampir semua negara bagian sudah meratifikasi perjanjian itu, sehingga menjadi Articles of Confederation, konstitusi AS yang pertama.

Sesuai, Articles of Confederation, negara berstatus bebas dan merdeka sesuai hak. Jadi, Amerika hanya menerima kewenangan yang diserahkan negara bagian. Boleh dikatakan, posisi pemerintah pusat sangat lemah, karena kewenangan terbesar ada pada negara bagian.

Dalam masa berlakunya Articles of Confederation terjadi krisis ekonomi, sehingga berbagai kalangan (terutama pedagang) memandang perlu adanya pemerintahan federal yang kuat, guna mengatasi kesulitan ekonomi. Untuk itu, para pedagang dan pengusaha menggelar konperensi antar-negara bagian, yang kemudian melahirkan konvensi di Philadelphia tahun 1787. Konvensi ini menyusun konstitusi, yang memungkinkan adanya pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat serta pemberian kewenangan yang lebih luas kepada uni federal.

Sidang di Philadelphia itu tidak berjalan mulus, tapi justru terjadi perbedaan pendapat yang tajam antara wakil dari negara bagian yang besar dan wakil negara bagian kecil.

Kedua kubu sama-sama mengajukan usul yang saling bertolak-belakang, karena menyangkut kepentingan masing-masing.

Konsep Berbeda

Dari kubu negara bagian besar mengusulakn konsep “Rencana Virginia”. Sementara dari kubu negara bagian kecil mengusung “Rencana New Jersey”. Peserta konvensi dituntut untuk memilih satu dari dua rencana. Yang jelas, “Rencana Virginia” bakal menguntungkan negara bagian yang besar, sekaligus merugikan negara bagian kecil.

Sebaliknya, “Rencana New Jersey” akan merugikan negara bagian besar dan menguntungkan negara bagian kecil.

“Rencana Virginia” menginginkan agar konggres terdiri dari dua dewan. Satu dewan dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, dewan hasil pilihan rakyat itu memilih anggota dewan tinggi dari calon yang diajukan legislatif negara bagian. Namun, komposisi wakil di kedua dewan itu ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dan pajak atau kombinasi dari keduanya.

Rencana ini, dengan sendirinya merugikan negara bagian kecil, karena jumlah penduduk dan pajak yang lebih kecil dibandingkan dengan negara bagian yang besar. Dalam Articles of Confederation, tidak ada sistem seperti itu. Sesuai Articles of Confederation, setiap negara bagian mempunyai wakil yang sama dengan negara bagian yang besar. Artinya, wakil dari negara bagian besar dan kecil mendapat jatah wakil yang sama dalam Konggres Amerika.

Sebenarnya, usulan kedua mempunyai persamaan, dimana keduanya menginginkan pemisahan antara kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Namun, perbedaan yang tajam terletak pada soal hubungan legislatif antara negara bagian besar dan kecil.

Menghadapi dua usulan yang saling bertolak belakang itu, menyebabkan peserta berusaha mencari jalan keluar untuk mewujudkan uni federal yang lebih bagus. Adalah William Samuel Jhonson dari Connecticut yang bisa memecahkan persoalan itu. Solusinya, satu dewan (DPR) diisi berdasarkan jumlah penduduk. Tugasnya, antara lain, berhak merencanakan undang-undang untuk memungut uang. Satu dewan lagi (senat) diisi berdasarkan negara bagian dengan jumlah yang sama bagi setiap negara bagian. Solusi ini, kemudian terkenal dengan “Kompromi Connecticut”.

Sesungguhnya, “Kompromi Connecticut” inilah yang menjadi substansi dari sistem bicameral AS yang dikenal saat ini, meski ada beberapa yang telah dibenahi, seperti anggota senat yang dipilih DPR, belakangan dipilih rakyat secara langsung.

Apa yang dicatat Coyle ini jelas, kalau sistem bicameral Amerika lahir dari situasi konflik kepentingan antara negara bagian besar dan negara bagian kecil. Artinya, sistem bicameral AS lahir karena kebutuhan sejarah. Situasi yang memaksa para negarawan AS untuk mencari solusi, yang dikenal sebagai sistem bicameral itu.

Bicameral Indonesia

Mencermati hasil perubahan ketiga UUD 1945 dalam sidang tahunan 2001, tidak bisa tidak, pola perwakilan di parlemen telah menganut sistem dua kamar. MPR terdiri dari dua kamar. Satu kamar adalah DPR dan satu kamar lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR dipilih dalam Pemilu berdasarkan jumlah suara, sementara DPD, juga dipilih dalam Pemilu berdasarkan provinsi.

Jumlah anggota DPD dalam MPR dari setiap provinsi sama. Tapi, tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Komposisi ini, juga mirip sistem bicameral di AS, dimana jumlah anggota senat lebih sedikit dari anggota DPR. Tapi, kewenangan senat sangat berimbang dengan kewenangan DPR. Bahkan, masa tugas senator lebih lama ketimbang DPR. Ini tidak tampak dalam bicameral Indonesia.

Mengenai DPD dan DPR dalam MPR, tampak kalau DPR memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan DPD. Bahkan, DPD tidak mempunyai kewenangan yang sangat cukup signifikan sebagai wakil daerah.

Kalau dibandingkan dengan bicameral AS, kepuasan negara bagian yang besar dan kecil, bukan sekadar terwakili dalam konggres. Tapi, roh dari bicameral AS itu terletak pada bargaining position yang seimbang. Sebuah undang-undang hanya sah kalau disetujui senat dan DPR.

Dengan posisi yang sama kuat, maka meski wakil dari negara bagian yang besar lebih banyak di DPR, tapi tidak membuat UU yang merugikan negara bagian kecil, karena UU itu bisa dimentahkan dalam senat.

DPD Hanya Pelengkap

Tapi, apa yang ditemukan dalam bicameral Indonesia, DPD tidak lebih sebagai pelengkap dan formalitas belaka. Bisa saja, hal ini ditepis dengan alasan, karena di DPR sudah ada perwakilan dari daerah. Kalau ini benar, berarti DPD menjadi tidak penting, sehingga tidak perlu dibentuk lagi.

Dari kewenangan yang diatur dalam ayat 1-3, pasal 22D, DPD nyaris tak mengemban fungsi legislasi. Suatu ketika, keberadaan DPD dan hubungannya dengan DPR akan berpotensi melahirkan kerancuan.

Tidak adanya fungsi legislasi itu, terlihat dari kewenangan DPD yang hanya mengajukan RUU yang berkaitan dengan persoalan daerah kepada DPR. Jadi, DPD sebatas mengajukan, bukan mengambil keputusan. Mengajukan RUU bukan fungsi legislasi.

Kewenangan kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah. Ini tidak jelas, hanya sekadar ikut membahas atau mengambil keputusan?

Sekali lagi, kalau sekadar membahas RUU tidak bisa dikatakan DPD memiliki fungsi legislasi. Kewenangan lain, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, RUU Pajak, pendidikan dan agama. Artinya, pertimbangan itu bisa dipakai atau tidak. Jadi, tergantung DPR. Soal memberikan pertimbangan bukan fungsi legislasi.

DPD juga diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan daerah. Ini menyimpan pertanyaan lanjutan, misalnya mau dikemanakan hasil pengawasan itu. Kemudian, apakah tidak tumpang tindih dengan fungsi kontrol dari DPR. Ataukah, hasil pengawasan itu diberikan kepada “big boss” DPR.

Hegemoni DPR terhadap DPD, sangat berpotensi melahirkan superioritas DPR dalam pengelolaan negara. DPD tidak lebih dari sekadar wakil yang duduk dalam bidang legislatif, tapi tanpa kewenangan legislasi.

Ketiadaan fungsi legislasi bagi DPD ini, bisa dimaklumi, karena sistem bicameral Indonesia lahir sebagai karbitan yang kering, tanpa roh. Sistem perwakilan Indonesia hanya memiliki roh, jika itu lahir dari situasi, kebutuhan dan nilai yang diperoleh dari dinamika masyarakat. Hanya negarawan sejati yang bisa melahirkan sistem yang berkarakter dan berjiwa. Indonesia masih punya negarawan?

*Penulis Daniel Duka Tagukawi, pengamat politik dan wartawan senior Sinar Harapan

Tulisan ini dimuat pertama kali di Harian Sore Sinar Harapan 13 Mei 2002  dengan judul “Sistim Bicameral Indoensia Tanpa Roh”. Dimuat ulang oleh Bergelora.com di tengah keinginan kuat kembali ke UUD’45 Asli dan kerusakan sistim akibat amandemen konstitusi.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru