PONTIANAK- Praktisi hukum dan politik di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Ranggie, menilai, upaya menjadikan Republik Indonesia sebagai negara Islam, sama saja mengkhianati sejarah perjuangan para pendiri Bangsa Indonesia.
“Itu artinya sama saja dengan membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bubar dan tinggal nama. Kalimantan dan Papua, pasti akan menolak keras upaya sejumlah pihak mengubah Indonesia menjadi negara Islam,” kata Tobias kepada Bergelora.com di Pontianak, Rabu (23/11).
Tobias menanggapi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubenur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah kasus kecil yang sebenarnya tidak perlu diributkan. Kalaupun dipersoalkan, tinggal diselesaikan melalui proses hukum yang berlaku.
Namun kasus ini menjadi ramai dan besar karena dipakai sekelompok orang sebagai pintu masuk membangkitkan kembali cita-cita dan perjuangan membentuk negara Islam. Kasus itu menjadi momentum untuk perjuangan menjadikan bangsa ini sebagai negara Islam.
“Ini pintu masuk bagi kelompok yang ingin mendirikan negara Islam. Ini yang berbahaya dan patut diwaspadai,” kata Ketua Lakpesdam PBNU, Rumadi Ahmad, dalam seminar bertema Kebhinekaan Dalam Perspektif Konstitusi UUD 1945 di Jakarta, Rabu (23/11).
Tobias mengatakan, semenjak era demokratisasi ditandai kejatuhan Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998, isu mengubah Indonesia menjadi negara Islam, terus menyeruak ke permukaan.
Dikatakan Tobias, tumpuan harapan masyarakat sekarang adalah ketegasan, ketegaran dan keberanian untuk tidak populer dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), untuk mencegah upaya sejumlah pihak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Tobias menuturkan, sejak awal masyarakat di daerah melihat, aksi demonstrasi di Jakarta, Jumat, 4 Nopember 2016 dan direncanakan dilanjutkan pada Jumat, 2 Desember 2016, sudah tidak murni lagi tentang kasus Ahok.
Melainkan syarat muatan politik lain, karena disertai ungkapan vulgar di hadapan publik anti terhadap non Islam, sehingga sangat wajar Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, bersikap sangat keras yang disertai ancaman, apabila demonstrasi susulan bertujuan makar.
“Apapun alasannya, Habib Rizieq dan Sri Bintang Pamungkas yang secara nyata-nyata mau menggulingkan pemerintahan yang sah, harus diproses hukum, demi rasa keadilan masyarakat yang pluralistik,” ungkap Tobias.
Dari Jakarta, Rumadi menjelaskan sampai sekarang, masih ada kelompok muslim yang terus memperjuangkan terbentuknya negara Islam. Mereka tidak terima fakta saat ini yaitu Indonesia bukan negara Islam.
Mereka juga tidak terima Pancasila sebagai dasar negara dan asas tunggal bangsa ini. Kelompok-kelompok tersebut terus mencari momentum untuk mendapatkan legitimasi atas apa yang mereka perjuangkan.
“Dalam kasus Ahok, bukan dugaan penistaan agama yang dikhawatirkan, tetapi bangkitnya kelompok yang ingin mendirikan negara Islam,” tutur Rumadi.
Rumadi mengemukakan ideologi mendirikan negara Islam tidak pernah mati dari negara ini. Aksi unjuk rasa pada Jumat, 4 November 2016 yang melibatkan banyak umat muslim adalah bentuk pergumulan ideologi membangun negara Islam.
Dalam kalangan muslim, sempat terjadi perbedaan karena sebagian melihat aksi itu dijadikan pintu masuk menghidupkan kembali negara Islam.
Rumadi mengingatkan tantangan kedepan adalah bagaimana menjawab pergumpulan ideologi tersebut. Pasalnya, kondisi masyarakat sekarang berbeda dengan para pendahulu.
Terutama masyarakat di masa perjuangan mencapai kemerdekaan dan masa-masa awal setelah merdeka. Saat itu, memang ada perbedaan tajam apakah membentuk negara Islam atau negara Pancasila. Bahkan saat itu ide syariat Islam sudah ada.
Tetapi para pendahulu bangsa lalu sepakat bukan negara Islam tetapi negara berdasarkan Pansila, di dalamnya mengakui perbedaan. Mereka juga sepakat untuk menjaga, merawat dan menjadikan perbedaan itu sebagai kekuatan.
Sementara saat ini, masyarakat cenderung menonjolkan perbedaan. Perbedaan dengan yang lain dibenturkan dan diangkat bukan untuk saling mengisi, tetapi memisahkan dengan yang lain.
“Zaman dulu, perbedaan itu menjadi ‘jembatan’ untuk menyatukan dengan yang lain. Sekarang ini, perbedaan menjadi ‘tembok’ yang memisahkan. Ini sangat berbahaya,” ungkap Rumadi.
Rumadi berharap semua anak bangsa masih bisa bersama-sama merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu harus tetap menjadi pegangan utama.
“Hanya dengan itu, bangsa ini akan terus tumbuh dan berkembang serta menjadi negara besar,” kata Rumadi dalam keterangan pers di Jakarta. (Aju)