Senin, 28 April 2025

Nursjahbani: Putusan MK Mensahkan Paedopilia

JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan untuk menaikkan usia kawin anak perempuan dari 16 tahun ke 18 tahun agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden (Keppres) 36/1990, telah melegitimasi hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak atau Paedopilia. Disamping itu MK tidak memberikan solusi atas simpang siurnya usia dewasa yang termuat dalam berbagai peraturan perundangan yang mengatur berbagai kepentingan. Hal ini disampaikan aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Nursjahbani Katjasungkana kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (27/6).

 

“Putusan MK tanggal 18 Juni 20115  sesungguhnya telah mendelegitimasi dan membatalkan berbagai larangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang persetubuhan atau hubungan seksual dengan anak-anak usia dibawah 16 tahun,–tepatnya 15 tahun. MK mensahkan Paedofilia! (kegemaran berhubungan seks dengan anak kecil-red),” Tegasnya.

Padahal menurut mantan anggota DPR-RI inidi dalam KUHP telah ditetapkan berbagai berbagai aturan melarang persetubuhan dengan anak yang belum cukup umur 15 tahun. Nursjahbani menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 pasal dalam KUHP yang menganggap  hubungan seksual atau persetubuhan  dengan anak dibawah usia 15 tahun baik di dalam maupun di luar perkawinan sebagai sebuah kejahatan seksual.

Pasal-pasal itu termuat dalam Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.
Pertama, pasal 287 KUHP :

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

“Pasal ini disebut sebagai statutory rape, yakni bentuk perkosaan yang tak mempersoalkan caranya, dengan kekerasan atau tanpa kekerasan atau dengam rayuan nggak penting,” jelasnya.

Kedua, menurutnya jika  ada perkawinan dini atau paksa maka pencegahannya melalui ketentuan pasal 288 KUHP berikut ini :

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

“Persetubuhan dengan istri dibawah umur  ini sebetulnya pasal baru yang dicangkokkan oleh pemerintah kolonial untuk mencegah perkawinan paksa dan perkawinan dini, yang waktu itu marak, bukan saja karena adat dan tradisi di banyak komunitas waktu itu sampai sekarang, tapi juga karena usia kawin menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah 15 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki,” jelasnya.

Ketiga, tentang pasal  larangan paedofilia ada pada pasal 292 KUHP yang berbunyi :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”

Nursjahbani berharap agar masyarakat, pemerintah, aktivis dan para ahli hukum di Indonesia menyadari konsekwensi dari keputusan MK yang berbahaya bagi masa depan masyarakat khususnya generasi muda perempuan Indonesia. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru