Jumat, 4 Juli 2025

Nursjahbani: Status Hukum Anak Simpang Siur

JAKARTA- Status hukum anak di Indonesia semakin tidak pasti setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengijinkan anak perempuan usia 16 tahun bisa dikawinkan. Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat memperbaiki kesimpang siuran status hukum terhadap anak Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh aktivis Hak Azasi Manusia, Nursjahbani Katjasungkana kepada bergelora.com di Jakarta, Kamis (25/6).

 

“MK semakin membingungkan masyarakat dalam menentukan status usia dewasa pada seseorang. Ada berbagai undang-undang yang berbeda-beda dan simpang siur soal status dewasa,” ujarnya.

Ia memaparkan dalam Undang-undang Perkawinan seorang perempuan dianggap dewasa dan bisa dikawinkan pada usia 16 tahun dan serorang pria pada usia 19 tahun. Dalam Undang-undang Pemilu, peserta pemilu ditetapkan usia 17 tahun untuk bisa ikut mencoblos dalam setiap pemilu. Dalam Undang-undang Admistrasi kependudukan (Adminduk) seseorang bisa mendapatkan Kartu Tanda  Penduduk sebagai warga negara bila sudah berusia 17 tahun. Dalam Undang-undang lalu lintas,seseorang bisa mendapatkan Surat Ijin Mengemudi bila sudah berusia 17 tahun. Dalam Undang-undang Peradilan Anak, anak usia 12 tahun sudah bisa dikenakan sanksi pidana.

Dalam Undang-undang Perlindungan Anak, seorang anak ditetapkan sudah dewasa bila sudah berusia 18 tahun. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) seseorang bisa dikenakan sanksi Pidana pada saat sudah berusia 15 tahun.

Perbedaan Usia Anak

Beberapa Undang-undang yang mengatur tentang anak dibawah ini:

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu pasal 7 ayat 1 tertulis:

Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

Pada pasal 47 ayat (1) menyebutkan:

“Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” 

Pada pasal 50 ayat (1) disebutkan:

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.”

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 330 disebutkan:

Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun, dan lebih dahulu telah kawin.

Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1) disebutkan:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 7 disebutkan:

“Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”

Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 19 ayat (1) disebutkan:

“Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”

Pada Undang-undang no 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 68 menyebutkan:

“Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.”

Pada Undang-undang No 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) pasal 63 ayat 1 menyebutkan:

“Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”

Pada Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 ayat 2 disebutkan:

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”

Pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris pasal 39 ayat (1) menyebutkan :

“Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah”

Pasal 40 ayat (1) menyebutkan:

Saksi sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah”.

 Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 26 menyebutkan bahwa:

“Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 8 disebutkan :

“Anak didik pemasyarakatan adalah:

a.      Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; b.      Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun

c.   Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.”

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak pasal 1 disebutkan :

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)  tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 disebutkan:

“Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) disebutkan:

“Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam Undang-undang  Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 1 ayat (4) disebutkan:

“Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.”

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 4 h disebutkan bahwa :

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007  Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka 5 menyebutkan :

“Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 98 ayat [1] disebutkan bahwa :

Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Mahkamah Konstitusi menurut Nursjahbani Katjasungkana seharusnya bisa menyelesaikan penetapan stadard status usia anak di dalam berbagai Undang-undang yang berlaku di Indonesia (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru