Sabtu, 5 Juli 2025

Obituari: Selamat Jalan Bung Amarzan Loebis, Wartawan Pejuang

Amarzan Loebis dan Gunawan Muhamad. (Ist)

Seorang wartawan pejuang senior barusan berpulang, Senin (3/9). Amarzan Loebis, Wartawan Tempo, menjadi guru bagi semua orang. Laksmi Pamuntjak di Belanda menulis obituari untuknya dan pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Laksmi Pamuntjak

AKU baru saja tiba di Boston untuk mengunjungi anakku ketika mendengar bahwa Bung Amarzan Loebis telah berpulang. Dukaku melampaui sekadar rasa kehilangan. Ia bukan saja sahabat tapi juga mentor, pencerita ulung, pejuang, penyair, jurnalis hebat, pahlawan, legenda. Tanpa beliau, aku takkan mungkin menulis AMBA—atau menulisnya sebagaimana aku menulisnya.

Pada tahun 2015, kami berlima berlayar ke Pulau Buru naik kapal busuk PELNI dengan tinja luber dari WC dan mengapung di kamar mandi dan di seisi lorong-lorong kapal. Nekat melompat dari seutas tali tipis ke perahu nelayan di tengah laut yang bergejolak. Tinggal di sebuah losmen penuh intel. Diintai di tengah malam dan lalu diinterogasi berjam-jam di kantor polisi.

Bercerita tentang hamparan padi sekujur pulau yang tadinya merupakan ladang berpindah sebagai bentuk kerja rodi yang dibebankan kepada para tapol (tahanan politik PKI (Partai Komunis Indonesia), tentang seorang pintar sakti penguasa Buru bernama Manalisa (entah ia ada atau tak ada). Tentang persentuhan dengan kaum jugun ianfu (perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara lain) yang mungkin saja sungguh pernah dilihat oleh almarhum Pramoedya Ananta Toer.

Tentang dahsyat kilau biru pantai Jikumrasa. Tentang lakon-lakon tonil revolusioner termasuk tentang Tan Malaka,– yang ia acap garap dan pentaskan di Gedung Kesenian di Pulau Buru. Tentang surat-surat para tapol yang harus dikubur di bawah pohon meranti untuk menghindari sensor. Tentang cinta yang terus berkobar justru karena ia disembunyikan. Tentang hasrat dan ketidaktergantungan.

Beliau bercerita tentang persaudaraan antara tapol dan pengawal, antara penguasa dan yang tertindas,– momen-momen rentan saat mereka berbagi rokok atau cerita. Sejenak melupakan perseteruan yang dipaksakan oleh ideologi.

Beliau juga memperkenalkanku pada minyak kayu putih lokal, menyuguhi sukun goreng untuk dinikmati dengan rujak duren, mengajak makan seafood gaya Makassar di rumah makan di Jalan Sultan Ba’abullah.

Dulu, ketika ia masih di Buru, setiap kali ada pengawal kembali dari Jakarta ia mintai majalah TIME dan Tempo agar ia bisa terus mengasah pengetahuan dan wawasannya selama di pengasingan.

“Kita harus menolak Lupa,” katanya. Dan Lupa dalam alam Bung Amarzan termasuk rasa takut, sensor-diri dan amnesia sejarah. Ia tak melupakan bagaimana masa produktifnya dirampas oleh rezim Orde Baru semenjak ia ditangkap pada akhir tahun 60-an lalu pada Desember 1971 dikirim ke Buru dalam Gelombang Ketiga. Tapi ia juga memaafkan dan tahu bagaimana berdamai dengan masa lalu. Baginya tak ada yang hitam putih dalam sejarah.

Selamat jalan, Bung Amarzan. Hutang budiku padamu melampaui segala karena kau tak hanya memberiku sepasang mata baru tapi juga mengajariku sesuatu yang berharga tentang sejarah,– terutama tentang permaafan dan kehadirannya untuk senantiasa ditafsir dan dimaknai ulang. Kau juga mengajariku tertawa,– sebab begitulah kau menghadapi hidup. Sebab merengkuh nasib tak berarti tunduk padanya. Beristirahatlah dengan damai, Bung Amarzan.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru