Oleh: Tsamara Amany*
Saya bahkan tidak tau harus memulai bagaimana. Tapi saya ingin katakan bahwa salah satu alasan saya memilih Universitas Paramadina dibanding universitas swasta lainnya adalah Anies Baswedan. Waktu itu tahun 2014, tahun di mana Pilpres berlangsung, tahun di mana Jokowi memenangkan pertarungan politik.
Anies menarik hati saya pertama kali ketika debat di Mata Najwa dengan Mahfud MD. Kata-katanya begitu indah. Membuat saya semakin yakin bahwa Jokowi banyak didukung orang-orang baik. Ada satu quote Anies yang sering ia katakan di berbagai kesempatan: “Negara hancur bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena orang-orang baik diam”. Kurang lebih begitu quotenya. Sangat menginspirasi.
Saya ingat ketika Anies sudah jadi Mendikbud dan mampir ke Paramadina, saya sampai rela absen satu kelas hanya untuk duduk paling depan mendengar Anies bicara. Meskipun ketika itu saya agak kecewa karena Anies lebih banyak bicara soal gagasan bukan soal hasil kerja, saya masih tetap mengagumi sosok satu ini. Ketika itu ia memberi saya buku biografinya dengan judul “Melunasi Janji Kemerdekaan” yang kemudian ditanda tangani.
Ketika saya magang di Balaikota, saya juga menunda tugas-tugas saya hanya untuk melihat Anies memberikan kata sambutan dalam acara perayaan Hari Film Nasional tahun 2016. Tapi lagi-lagi saya dikecewakan karena Anies fokus membahas kulit saja, tidak membahas isi. Anies lebih suka membahas hal-hal yang seremonial. Misalnya seperti mengenakan baju adat daerah pada hari tertentu untuk menunjukkan keberagaman.
Mungkin rasa kecewa ini timbul karena saya sudah magang di Balaikota dan terbiasa melihat Ahok yang tidak pernah melakukan hal-hal seremonial, tapi secara nyata bekerja. Namun saya memaklumi. Setiap orang berbeda. Anies — bagi saya waktu itu — masih tetap seorang tokoh yang ingin membawa perubahan bagi dunia pendidikan Indonesia, hanya saja ia belum mampu menerjemahkan itu ke dalam birokrasi.
Ketika Anies dipecat oleh Presiden Jokowi, saya tak begitu kaget. Memang sejak mendengar sambutannya di Balaikota itu, saya yakin kalau ia tak mampu menunjukkan hasil nyata secepatnya, bisa saja ia masuk daftar reshuffle. Tapi ketika Anies dicalonkan oleh Gerindra dan PKS sebagai gubernur, saya kaget. Bukannya Anies sendiri yang menganggap Prabowo tak mampu memimpin Indonesia, apakah sekarang ia akan memuja Prabowo karena memberikannya tiket maju gubernur? Apakah Anies juga akan memuja PKS yang selama ini (pendukungnya) suka mencapnya liberal? Secepat itukah Anies berubah?
Dunia memang berubah. Anies sudah menjadi politisi. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar dapat menyalonkan diri. Walaupun saya memutuskan untuk memilih Ahok, setidaknya masih tersisa rasa hormat kepada mantan rektor saya itu.
Tapi tidak hari ini, Pak Anies. Hari ini rasa hormat saya runtuh. Tak sedikitpun tersisa ketika saya melihat Anies Baswedan yang saya kagumi itu datang ke markas Front Pembela Islam (FPI), berdiri di sebelah para petinggi tersebut, dengan penuh senyum.
Langsung saya teringat opini Anies Baswedan di Kompas pada tahun 2012 mengenai tenun kebangsaan. Anies dengan keras meminta mereka yang merobek tenun kebangsaan agar diberi efek jera.
“Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Di sini pendidikan berperan penting. Namun, itu semua tak cukup dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau ”bertarung” menghadapi para perobek itu. Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah bahwa bangsa ini gagah memesona saat mendirikan negara bineka tetapi lunglai saat mempertahankan negara bineka,” tulis Anies (12/09/2012).
Tapi apa yang hendak kau tunjukkan ketika pergi ke markas tersebut, Pak Anies? Apakah kedatanganmu ingin menjaga tenun kebangsaan atau justru merobeknya? Kita tau posisi FPI, mereka mendukung pemimpin yang seiman. Mereka juga mewajibkan warga Jakarta memilih pemimpin Muslim. Tapi saya tidak akan membahas sikap FPI itu, itulah sikap mereka dari dulu. Tapi kau Pak Anies? Inikah sikapmu?
Banyak orang yang sejalan dengan FPI. Meski saya tidak setuju dengan banyak orang itu, saya hargai konsistensi mereka. Itulah idealisme mereka, sesalah apapun itu di mata saya. Mereka konsisten memegang idealisme itu.
Bagi saya, Anies lebih parah dari mereka. Idealisme Anies tak lebih dari kepentingan politik semata. Kepentingan untuk berkuasa. Dulu ia menghina blusukan Jokowi sebagai pencitraan, lalu menjadi jubir Jokowi dan memujanya, kemudian dijadikan menteri, begitu dipecat langsung nyagub diusung dua parpol yang dulu ia ejek habis-habisan ketika Pilpres 2014. Dan kini, yang paling rendah, Anies rela membuang pandangan banyak orang bahwa ia adalah tokoh yang toleran, tokoh yang tidak mempermasalahkan agama/suku/ras dalam kompetisi politik, agar dapat meraup suara dari kelompok ekstrim kanan. Anies rela menggadaikan idealismenya demi mengejar jabatan gubernur!
Pak Anies, saya menyesal pernah mengagumimu. Mungkin di masa depan, dengan idealismemu yang murah itu, kau bisa jadi bagian dari perobek tenun kebangsaan yang sering kau sebut itu.
**Mahasiswi Universitas Paramadina
* Tulisan dikutip Bergelora.com dari akun Facebook Katakita