JAKARTA- Lebih setahun pemerintahan Jokowi-JK, belum ada langkah-langkah kongkrit mengenai pelaksanaan reforma agraria melalub target redistribusi 9 juta hektar kepada petani miskin (gurem dan tak bertanah). Paradigma pembangunan ekonomi politik berbasiskan kebijakan agraria pro-rakyat juga belum nampak. Akhirnya, pemenuhan hak-hak dasar warga atas sumber-sumber agraria, pemulihan hak-hak korban konflik serta upaya penyelesaian konflik agraria praktis tidak tersentuh sepanjang tahun 2015. Jakarta, Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com, Minggu (24/1).
“Presiden Jokowi kembali diingatkan agar konsisten mewujudkan janjinya menjalankan reforma agraria sejati. Target pelaksanaan reforma agraria melalui redistribusi tanah seluas 9 juta hektar dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar haruslah diabdikan sepenuhnya untuk upaya penguatan dan pemulihan hak-hak petani miskin, perluasan wilayah kelola rakyat dan penyelesaian konflik agraria,” jelasnya.
Ia mengingatkan pula bahwa agenda reforma agraria adalah agenda bangsa, bukan semata program Kementerian ATR/BPN. Oleh karenanya Presiden lah yang harus memimpin langsung pelaksanaan agenda ini, untuk memastikan kerjasama antar kementerian terkait.
“Salah satunya kerjasama penyediaan tanah objek reforma agraria (TORA) oleh dua kementerian utama, yakni Kementerian ATR/BPN dan KLHK,” ujarnya.
Ia menegaskan, identifikasi TORA juga menjadi titik krusial agar implementasi 9 juta hektar tidak melenceng dari tujuan utama reforma agraria. Ada kecenderungan pemerintahan di bawah Jokowi hendak mengulang kesalahan yang sama, mengartikan reforma agraria hanya sertifikasi tanah, bahkan mengartikan transmigrasi sebagai reforma agraria.
“Patut diingat bahwa reforma agraria bukan legalisasi asset, melainkan upaya menata-ulang penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan yang timpang untuk menciptakan basis-basis kekuatan produktif masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial. Legalisasi asset hanya bagian kecil dari proses reforma agraria, dan bukan menjadi tujuan utama,” tegasnya.
Selain dua kementerian di atas, dalam menciptakan basis-basis produktif masyarakat, maka Presiden juga perlu memastikan peran Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri hingga pemerintah daerah untuk memastikan reforma agraria dijalankan secara utuh.
Pelaksanaan reforma agraria harus pula dijalankan dalam kerangka penyelesaian konflik agraria struktural, dimana salah satu prioritas sumber TORA adalah area-area konflik agraria yang selama ini telah menjadi konflik laten dan menimbulkan banyak korban konflik.
“Untuk upaya percepatan penyelesaian konflik agraria dan penghentian kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat, maka Jokowi harus segera membentuk unit khusus di bawah Presiden untuk menyelesaikan konflik, yang selama ini mengalami kebuntuan penyelesaian akibat ketiadaan saluran kelembagaan yang efektif untuk menuntaskan konflik agraria di Indonesia,” tegasnya.
Selain penentuan TORA, identifikasi subjek (penerima manfaat) reforma agraria menjadi titik krusial juga agar implementasinya tepat sasaran. Karenanya pelibatan organisasi masyarakat sipil dan serikat tani menjadi penting untuk memastikan pelasanaan reforma agraria tepat subjek dan obyek serta selaras dengan tujuan utamanya.
Pada penghujung tahun, dalam pidato peringatan Hari HAM tanggal 10 Desember 2015 Presiden Jokowi kembali menyatakan komitmennya terkait urusan agraria, yaitu menyelesaikan konflik agaria dan menghentikan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat.
“Publik masih menanti apakah pidato tersebut akan diimplementasikan oleh kabinet di bawahnya, atau kembali menjadi angin surga politik bagi masyarakat,” katanya.
Halangan birokrasi, ego-sektoral dan keengganan kerjasama antara kementerian terkait yang masih saja terjadi hingga kini harus segera antisipasi Presiden agar reforma agraria untuk keadilan sosial dan penyelesaian konflik agraria dapat benar-benar diwujudkan di era Jokowi-JK.
“Presiden sebagai pelaksana mandat konstitusi sesuai Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi landasan pemerintah ke depan dalam mengurus persoalan krisis agraria Tanah-Air,” tegasnya (Web Warouw).