Rabu, 16 Juli 2025

Pak Jokowi! Kembalikan Tanah Suku Anak Dalam!

JAKARTA- Para kelas menengah ibukota ribut menyoroti kontroversi foto Presiden Joko Widodo yang sedang berdialog dengan suku anak dalam di Jambi, namun tidak mampu mengupas realita persoalan suku anak dalam yang sesungguhnya yaitu perampasan tanah adat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang mendapatkan ijin konsesi dari pemerintah pusat sebelumnya.

 

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Jambi, Mawardi kepada Bergelora.com di Jakarta (6/11)

“Sudah jelas terlihat apa yang menjadi persoalan mendasar bagi warga suku anak dalam yakni perampasan hak dan ruang hidup mereka oleh korporasi sawit. Presiden juga gagal menyoroti realita hidup suku anak dalam,” tegasnya.

Ia menjelaskan, luas perkebun sawit di provinsi Jambi ini mencapai 341.457 ha. Hampir separuh dari luasan konsesi sawit itu adalah ruang hidup berbagai kelompok masyarakat SAD.

“Padahal dengan mata telanjang Jokowi menyaksikan sendiri kehidupan warga SAD dikepung oleh perkebunan sawit. Sayang, Presiden Jokowi gagal menangkap persoalan mendasar itu. Sebaliknya, ia memberikan solusi yang tidak menyentuh sama sekali akar persoalan, seperti bantuan sembako, Kartu Indonesia Sehat (KIS), uang tunai 30 juta untuk menghadirkan air bersih dan listrik, dan rencana merumahkan suku anak dalam,” ujarnya.

Menurutnya untuk menyelamatkan kehidupan warga suku anak dalam secara keseluruhan, ada tiga hal yang mendesak yaitu pertama, mengembalikan semua tanah ulayat milik suku anak dalam yang dirampas oleh korporasi; kedua, mencabut izin HGU perusahaan yang selama ini melanggar hak-hak warga suku anak dalam; dan ketiga, mengakui hak hidup suku anak dalam sesuai tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup mereka.

“Presiden Jokowi seharusnya menjadikan suku anak dalam sebagai kaca benggala untuk melihat persoalan yang lebih besar yaitu perampasan ruang hidup banyak warga negara akibat ekspansi korporasi.

“Ada begitu banyak warga negara di seantero negeri ini yang dipaksa hidup nomaden akibat ruang dan sumber penghidupannya dirampas oleh korporasi besar,” tegasnya.

Media pendidikan rakyat Partai Rakyat Demokratik (PRD) Berdikari online, 5 November 2015, memuat artikel dengan foto yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang berbincang dengan sejumlah warga Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Jumat (30/10/2015), yang sangat mengesankan dan bersejarah.

“Itu menunjukkan betapa tidak berjaraknya Presiden ke-7 Republik ini dengan rakyatnya. Apalagi dengan warga SAD, yang selama ini keberadaannya selalu ditempatkan di halaman belakang Republik. Ini juga momentum bersejarah bagi Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia pertama yang mengunjungi warga SAD (suku anak dalam) di pedalaman,” demikian Berdikari online.

Foto itu juga menurut Berdikari Online, membawa misi penting ingin menunjukkan betapa pedulinya Presiden sekarang ini dengan warga SAD. Jangankan Presiden-Presiden sebelumnya, pejabat setempat saja (Gubernur hingga Bupati) belum tentu melakukan hal serupa. Foto itu seakan ingin mengatakan “Inilah Presiden Jokowi yang peduli dengan warga SAD.”

Tetapi foto gampang direkayasa. Apa yang dipotret bisa saja sudah diatur sedemikian rupa. Kita juga tidak tahu apa yang diperbincangkan. Karena itu, foto tidaklah cukup untuk menggambarkan kepedulian dan keberpihakan seorang pemimpin politik pada rakyatnya.

“Sebaliknya, bagi saya, kepedulian dan keberpihakan seorang pemimpin politik terhadap rakyatnya harus diukur pada kebijakan politiknya. Ini soal bagaimana seorang Presiden menghadirkan dan menggunakan negara untuk melindungi dan memajukan kehidupan ekonomi, politik, dan sosial rakyatnya, demikian Mahesa Danu dalam Berdikari Online.

Cerita Pilu Suku Anak Dalam

Bagi SAD, atau sering disebut orang rimba, hutan adalah ruang hidup mereka. Hutan adalah rumah sekaligus ruang membangun kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.

Tetapi cerita pilu mulai mengetuk pintu kehidupan SAD di tahun 1987. Saat itu, PT. Bangun Desa Utama (BDU) mendapat izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 20.000 hektar di kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang hidup SAD.

Kutar, Ketua Adat SAD Bathin Bahar, masih menyimpang cerita pilu kejadian saat itu. “Tanpa salam, tentara bersepatu laras masuk ke dalam rumah. Mereka mengusir kami. Keluar kau, katanya,” tutur Kutar.

Sejak saat itu, lanjut Kutar, orang-orang SAD terusir dari ruang hidupnya. Kampung dan kuburan leluhur dihancurkan. Mereka lalu hidup tercerai berai. Kata Kutar, saking traumanya akan kejadian itu, orang-orang SAD akan ketakutan jika melihat orang memanggul senapan.

Kutar sendiri kemudian tergabung dengan SAD 113 yang dipimpin oleh Abas Subuk. Kelompok SAD 113 terus berjuang untuk menuntut agar tanah ulayat SAD dikembalikan. Kelompok ini mendiami tiga dusun: Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang.

Tahun 2007, kepemilikan saham PT.DBU beralih ke PT. Asiatic Persada (AP), anak perusahaan Wilmar Group. Namun, cerita pilu kehidupan SAD tak kunjung berakhir. Malahan, perusahaan sawit asal Malaysia itu berkali-kali melakukan pengusiran terhadap warga SAD dari kampung-kampung mereka.

Tahun 2007 juga, Serikat Tani Nasional (STN) mulai turun tangan membela hak-hak warga SAD. Organisasi tani yang berdiri tahun 1994 itu membuat perjuangan warga SAD mulai terdengar keluar. Bahkan, pada tahun 2011, di bawah bendera STN dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), warga SAD menggelar aksi pendudukan selama 1 bulan lebih di depan gedung DPR-RI, di Jakarta.

Perjuangan itu sedikit membuahkan hasil. Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menyetujui tuntutan warga SAD terkait pengembalian hak ulayat seluas 3550 ha. Keputusan BPN RI itu diperkuat oleh DPR-RI, Menteri Kehutanan, DPD-RI, Komnas HAM, dan Pemerintah Daerah Jambi. Saat itu, warga SAD pulang ke Jambi dengan wajah sumringah.

Namun, apa mau dikata, pihak PT. Asiatic Persada mengabaikan putusan BPN RI tersebut. Pihak pemerintah daerah juga Cuma tinggal diam. Alhasil, warga SAD kembali bergerak. Kali ini mereka menduduki kantor Gubernur Jambi.

Tidak hanya itu, pada tahun 2012, mereka kembali menggelar aksi di Jakarta. Kali ini, bersama dengan petani dari Sarolangun, Jambi, warga SAD menggelar aksi pendudukan di depan kantor Kementerian Kehutanan selama berbulan-bulan.

Itu belum seberapa. Pada bulan Desember 2012, seratusan warga SAD dan petani dari Sarolangun menggelar aksi jalan kaki dari Jambi menuju Jakarta yang berjarak lebih dari 1000 km. Inilah aksi jalan kaki terjauh dalam sejarah Indonesia. Warga SAD membutuhkan 43 hari itu menaklukkan jarak itu.

Angin Surga

Lantaran aksi yang cukup militan itu, warga SAD kembali diberi angin surga: pengembalian tanah ulayat seluas 3550 ha. Dan lagi-lagi, angin surga itu tidak terbukti. PT. Asiatic tetap membandel. Pada bulan Mei 2013, SAD kembali menggelar aksi pendudukan di kantor Gubernur Jambi. Aksi ini berhasil mendesak Pemrov Jambi untuk melayangkan surat instruksi kepada PT. Asiatic Persada untuk segera mengembalikan hak ulayat SAD.

Tetapi perusahaan sawit asal Malaysia itu tetap bergeming. Akhirnya, Pemprov Jambi melayangkan tiga kali surat peringatan. Tidak diindahkan juga. Pada Oktober 2013, Kanwil BPN Jambi mengeluarkan surat rekomendasi tertanggal 24 Oktober 2013 Nomor 1073/18-15/X/2013 perihal Peninjauan Ulang Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatic. Disusul kemudian oleh surat rekomendasi Gubernur Jambi tertanggal 25 Oktober 2013 Nomor S-525.26/3260/SETDA.EKBANG-4.2/X/2013 Perihal Peninjauan Ulang Sertifikat HGU PT. Asiatic.

Ironisnya, ketika Surat Rekomendasi itu sedang berproses di BPN-RI, pada tanggal 7 Desember 2013, PT Asiatic mengerahkan ribuan security-nya, dibantu oleh TNI dan Polri, kembali menggusur warga SAD 113 di tiga kampung: Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang.

“Selama saya menjadi Ketua Adat 113, ini yang paling keras. Dan ini juga yang paling kejam. Sementara kita sedang negosiasi, mereka mengirim tentara dan polisi untuk mengusir kita pagi-pagi sekali. Sekitar jam 07.00 pagi,” kata Ketua SAD 113, Abas Subuk.

Dan kekerasan demi kekerasan datang berentetan. Pada tanggal 7 Maret 2014, hanya beberapa bulan menjelang Pemilu 2014, seorang warga SAD bernama Puji (50 tahun) disiksa dan dibunuh secara keji oleh aparat TNI, Brimob, dan security PT. Asiatic Persada. Dalam kejadian itu TNI dan Brimob juga mengumbar peluru tajam terhadap warga SAD lainnya.

“Tetapi, ya, kita memang tidak bisa berharap banyak pada Presiden Jokowi. Sebab, sejak dia berkuasa setahun ini, ruang gerak korporasi justru dibuka selebar-lebarnya melalui serangkaian paket kebijakan deregulasi,” ujar Berdikari Online (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru