JAKARTA- Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengecam keras aksi penolakan perijinan pembangunan gereja yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Peristiwa ini membuktikan bahwa politisasi identitas semakin mengkhawatirkan dan mengancam jalinan keragaman yang wajib kita syukuri sebagai anugerah Tuhan bagi bangsa ini. Hal ini disampaikan Jeirry Sumampow, Kepala Humas PGI kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (10/9).
“Sungguh mengenaskan bahwa di tengah berbagai bencana yang melanda negeri ini, dan menuntut diperkuatnya solidaritas kebangsaan, masih saja ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyakiti saudara sebangsanya,” tegasnya.
Menurutnya, peristiwa ini sungguh mencederai amanat Konstitusi RI yang memberikan garansi kesetaraan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah secara bebas, menurut agama dan keyakinan yang dianutnya.
“Berhadapan dengan situasi ini, kehadiran pemerintah mutlak diperlukan, sehingga tidak terkesan membiarkan jiwa konstitusi dilecehkan di hadapan para penguasa daerah,” tegasnya.
Ia mengatakan, peristiwa ini sangat berlawanan dengan semangat Moderasi Beragama yang sedang diarus-utamakan pada semua level pemerintahan dan masyarakat.
“Peristiwa ini juga sangat bertentangan dengan nilai-nilai Gerakan Nasional Revolusi Mental yang tengah digalakan oleh pemerintah,” tegasnya.
“Kita tak boleh lelah mengupayakan dialog dan kerjasama sebagai cara bermartabat untuk mengelola perbedaan dan mengembangkan kerukunan di bangsa ini. Sekalipun begitu, kita tak boleh mengesampingkan terjadinya ketidak-adilan, sekalipun atas nama kerukunan. Kebebasan beragama yang bertumpu pada keadilan bukanlah paradoks terhadap kerukunan, namun keduanya harus terintegrasi karena menerjemahkan perintah etis setiap agama,” ujarnya.
PGI menganjurkan umat Kristen untuk tetap mengedepankan nilai-nilai kasih dalam menyikapi peristiwa seperti ini.
“Hendaklah kita tidak goyah di dalam iman dan keyakinan kita, juga tidak terjebak di dalam kebencian dan dendam, serta generalisasi yang keliru, namun “bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain, dan terhadap semua orang” (Band. I Tes 3: 11-13).
Atas Nama Kearifan Lokal
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pendirian gereja di Cilegon, Banten. Mereka menuntut anggota DPRD dan Wali Kota Cilegon untuk menegakkan peraturan daerah terkait pendirian rumah ibadah selain masjid.
“Bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975, tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang mengatur dan menertibkan tentang ketentuan pendirian rumah ibadah di daerah Cilegon selain masjid,” kata salah seorang orator saat membacakan tuntutannya, Rabu (7/9/2022).
“Adalah warkah dokumen yuridis landasan hukum aturan yang mengatur pendirian rumah ibadah selain masjid di wilayah Kabupaten Serang dahulu sekarang menjadi Kota Cilegon,” tambahnya.
Surat keputusan Bupati Serang tahun 1975 itu dianggapnya menjadi dasar bagi para penolak pendirian rumah ibadah. Surat itu merupakan buah dari perjanjian ulama di Cilegon saat awal berdirinya PT Krakatau Steel yang saat itu bedol desa hingga beberapa pesantren, permukiman, dan makam-makan leluhur di Cilegon dipindah.
“Bahwa daerah Cilegon adalah daerah para pejuang dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia sehingga atas jasa para pejuang Paduka Presiden Sukarno memilih Kota Cilegon dari banyak daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini untuk membangun pabrik Baja Trikora yang saat ini dikenal dengan pabrik PT Krakatau Steel Cilegon sebagai hadiah bagi masyarakat Cilegon,” katanya.
Selain itu, dalam pembangunan pabrik PT Krakatau Steel, ada sejumlah kearifan lokal yang ikut dipindahkan.
“Dalam pembangunannya masyarakat Kota Cilegon telah banyak berkorban, baik materi maupun imateri, yaitu berupa kerelaan dipindahnya pesantren-pesantren besar, dan kerelaan memindahkan makam-makam para pejuang, kiai dan ulama-ulama para leluhur masyarakat Kota Cilegon,” katanya.
Atas dasar hal tersebut, mereka menolak pendirian rumah ibadah di Cilegon. Mereka juga menuntut agar pemerintah membuat peraturan wali kota atau surat keputusan yang dapat menguatkan surat keputusan Bupati Serang pada 1975 tersebut.
“Segera membuat Peraturan Wali Kota (perwal) atau Surat Keputusan Wali Kota Cilegon untuk menguatkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975 tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang mengatur dan menertibkan tentang ketentuan pendirian rumah ibadah di daerah Cilegon selain masjid yang berlaku mulai saat sekarang hingga berlaku sepanjang jaman,” katanya. (Effendi)