JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi produksi siap jual atau lifting minyak dan atau migas bumi (migas) sepanjang 2024 mencapai 1.558,5 barel setara minyak per hari (mboepd) secara kumulatif.

Bloomberg melaporkan angka ini terpaut jauh di bawah target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar 1.668 mboepd, menurut data capaian kinerja sektor ESDM periode 2024 yang disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Senin (3/2/2025).

Jika diperinci, capaian lifting minyak pada 2024 mencapai 579,7 ribu barel per hari (mbopd). Angka ini di bawah target APBN 2024 yang ditetapkan sebesar 635 ribu mbopd.
Bahkan, realisasi tahun lalu juga jauh di bawah capaian lifting minyak 2023 sebesar 605,5 mbopd.

Sementara itu, realisasi lifting gas pada 2024 sebesar 978,8 mboepd. Angka ini juga di bawah target APBN 2024 sebesar 1.033 mboepd.
Namun, realisasi tahun ini sedikit meningkat dibandingkan dengan capaian lifting gas pada 2023 sebesar 960 mboepd.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menekankan tata kelola migas perlu diperbaiki melalui tiga cara.
Pertama, mengerjakan sumur-sumur menganggur atau idle well.
Kedua, mengoptimalkan sumur-sumur yang ada itu dengan pemanfaatan teknologi enhanced oil recovery (EOR).
Ketiga, sebanyak 300 sumur yang telah selesai dieksplorasi namun belum ada perencanaan pengembangan atau plan of development (PoD) harus segera diselesaikan.
Bahlil mengungkapkan pemerintah menargetkan lifting minyak sebesar 1 juta bph pada 2028—2029.
“Presiden Prabowo menargetkan pada 2028—2029 sudah harus kita punya lifting kurang lebih sekitar 900.000 sampai 1 juta [bph]. Ini bukan pekerjaan gampang.”
Pemerintah Bakal Tunda Ekspor LNG
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dikabarkan berencana menunda ekspor sejumlah kargo liquefied natural gas (LNG) untuk memastikan pasokan dalam negeri yang semakin meningkat.
Mengutip laporan Bloomberg pada Jumat (24/1), sumber yang mengetahui kebijakan ini menyebut bahwa pemerintah telah meminta eksportir LNG untuk menunda pengiriman yang telah dijadwalkan tahun ini, bahkan kemungkinan hingga 2026
Sumber lain menyebut bahwa Indonesia mungkin harus menahan sekitar 50 kargo LNG agar dapat dialokasikan bagi kebutuhan domestik.
Berdasarkan data Ship-tracking, ekspor LNG Indonesia tahun lalu mencapai 300 kargo, menjadikannya sebagai eksportir LNG terbesar keenam di dunia.
Namun, keputusan ini berpotensi memengaruhi pasokan LNG di pasar global, terlebih saat sejumlah negara seperti Mesir dan Malaysia tengah menghadapi perubahan kondisi pasokan.
Mesir, yang sebelumnya menjadi eksportir, kini justru mulai mengimpor LNG untuk menutupi produksi domestik yang menurun, sementara Malaysia tengah mempertimbangkan untuk menerima lebih banyak pengiriman LNG.
Dampak Terhadap Iklim Investasi
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai, kebijakan ini berisiko merusak iklim investasi di sektor gas Indonesia.
“Langkah ini justru akan kontraproduktif terhadap upaya menarik investasi di sektor energi,” kata Moshe, Rabu (29/1).
Menurut Moshe, kebijakan seperti ini pernah dibicarakan sebelumnya dengan asumsi menghentikan ekspor akan menurunkan harga gas dalam negeri. Padahal, asumsi itu keliru. Indonesia bukan produsen gas besar seperti Amerika atau Qatar yang bisa fleksibel mengatur produksi. Harga gas kita ditentukan oleh ekonomi lapangan, bukan sekadar suplai dan permintaan.
Lebih dari 70% produksi gas di Indonesia, lanjut Moshe, dikelola oleh perusahaan migas internasional, bukan oleh Pertamina.
Jika ekspor dihentikan dan harga gas dalam negeri ditekan, produsen bisa saja memilih untuk mengurangi produksi atau bahkan menahan investasi baru.
“Investor selalu berpikir jangka panjang. Kalau tiba-tiba ekspor di-stop dan harga dalam negeri ditekan, mereka kehilangan opsi dan kemungkinan besar akan memilih untuk berhenti berproduksi,” ungkapnya.
Selain menghambat investasi, Moshe menilai kebijakan ini dapat berdampak serius terhadap kontrak-kontrak ekspor LNG jangka panjang yang sudah berjalan.
“BP sudah on-stream dalam trading-nya. Kalau ekspor tiba-tiba dihentikan, mereka tidak bisa memenuhi kontrak dan konsekuensinya bisa berupa penalti besar,” tambah Moshe.
Lebih lanjut, Moshe juga menilai kebijakan ini bisa merusak kredibilitas Indonesia di mata investor global.
“Kalau pemerintah bisa secara sepihak menyetop suplai LNG tanpa menghormati hak investor dalam production sharing contract (PSC), kepercayaan terhadap Indonesia akan menurun. Investor akan berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya di sini,” katanya.
Alih-alih menghentikan ekspor, Moshe menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur gas agar industri dalam negeri dapat menyerap LNG secara optimal.
Menurutnya, masalah utama bukan kekurangan pasokan gas, melainkan kurangnya infrastruktur yang mendukung distribusi dan pemanfaatan gas secara efisien.
“Kalau infrastrukturnya tersedia, industri dalam negeri bisa beralih dari LPG ke LNG, dengan harga yang lebih bersaing. Tapi kalau infrastrukturnya tidak ada, harga gas domestik tetap tinggi dan ekspor yang dihentikan pun tidak akan banyak membantu,” jelasnya.
Moshe menegaskan pasar domestik harus memiliki kepastian dalam hal permintaan, distribusi, dan harga yang kompetitif.
“Kalau permintaan ada dan infrastrukturnya tersedia, maka lapangan gas tentu akan berproduksi. Namun, tanpa infrastruktur yang memadai, kebijakan penghentian ekspor ini malah bisa menjadi bumerang,” pungkasnya.
Selain dampak ekonomi dan investasi, kebijakan ini juga dinilai bisa menimbulkan konsekuensi hukum.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menilai, kebijakan ini dapat memicu persoalan hukum, terutama karena sebagian besar kontrak ekspor LNG sudah terikat dalam perjanjian jangka panjang.
“Jika benar kebijakan ini diambil demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka ini langkah yang baik. Namun, pemerintah harus mempertimbangkan aspek bisnis dan hukum agar tidak terjadi sengketa,” jelas Bisman kepada Kontan, Rabu (29/1).
Menurut Bisman, pertumbuhan kebutuhan gas dalam negeri memang meningkat pesat seiring dengan berkembangnya industri dan peralihan energi bersih.
Bahkan, di tengah kenaikan permintaan ini, Indonesia juga tercatat mengimpor LNG dari beberapa negara.
“Daripada terus mengimpor dan kehilangan devisa, maka lebih baik gas yang ada dimanfaatkan untuk pasar domestik. Namun, caranya harus benar, tidak sekadar menyetop ekspor secara mendadak,” tambahnya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyatakan pemerintah berencana memprioritaskan gas domestik untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri yang terus meningkat.
Pada tahun 2025, kebutuhan gas nasional diproyeksikan mencapai 1.471 BBTUD (Billion British Thermal Unit per Day) dan meningkat hingga 2.659 BBTUD pada tahun 2034. Langkah ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai kemandirian energi nasional.
“Orientasi kita sekarang harus memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kalau kebutuhan dalam negeri sudah cukup, barulah kita akan membuka peluang untuk ekspor,” tegas Bahlil. (Calvin G. Eben-Haezer)