JAKARTA- FSPPB menuntut Kementerian keuangan bersikap adil terhadap kedua perusahaan Pertamina dan PLN dengan cara mengaudit Perusahaan Listrik Negara (PLN). Demikian pernyataan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Ugan Gandar kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (14/8) menyusul kesepakatan rapat antara Pertamina dan PLN beberapa waktu lalu.
“Kenapa hanya Pertamina yang harus diaudit sementara PLN tidak. mustinya untuk azas keadilan Dirjen Anggaran juga harus memerintahkan kepada BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk mengaudit PLN terkait penetapan tarif maupun terhadap penggunaan subsidi pemerintah. Sehingga kesan keberpihakan Kemenkeu terhadap PLN bisa dianulir,” tegasnya.
Menurutnya masyarakat perlu mengetahui bahwa Pertamina tidak ada niatan untuk mempersulit masyarakat dengan menyetop pasokan solarnya ke PLN yang dapat mengakibatkan pemadaman listrik.
“Sekalipun kedua perusahaan ini sama-sama BUMN namun untuk masalah pembelian solar dan MFO (Marine Fuel Oil –red) dari pertamina adalah bisnis to bisnis karena PLN atas keputusan pemerintah yang disetujui DPR R, PLN menggunakan Non PSO yang tidak disubsidi pemerintah,” ujarnya
PLN menurutnya memiliki peluang untuk membeli bukan hanya dari Pertamina. Penjualan solar Pertamina ke PLN juga melalui tender.
“Di beberapa suplai point Pertamina ikut tender dan menang. Namun ada dibeberapa templates Pertamina kalah. Namun sering kali pemenang selain pertamina itu tidak bisa menyediakan solar dan akhirnya PLN minta Pertamina yang menyediakan.
Kesepakatan Lonjong
Ia menjelaskan bahwa Hasil rapat antara Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Kementerian Keuangan menyepakati kesepakatan harga Solar 109.5% dan MFO 111 %. Rapat yang dihadiri Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dirjen Anggaran, PT Pertamina dan PLN ternyata menghasilkan kesepakatan yang lonjong.
“Karena pihak Kemenkeu melalui dirjen anggaran minta harga yang disepakati agar di audit Oleh BPKP. Kami tidak mengerti kenapa menganjurkan audit tersebut, sementara Hasil audit BPKP atas permintaan pihak PLN terhadap harga Pertamina para tahun 2013 justru diabaikan Oleh PLN,” ujarnya.
Bahkan secara eksplisit dalam rapat tersebut menurutnya, Dirjen Anggaran seolah-olah tidak percaya terhadap hasil audit BPKP 2013 tersebut.
“Lah kalau tidak percaya untuk apa Dirjen Anggaran tersebut minta harga Pertamina diaudit lagi sama BPKP untuk harga yang tahun 2014?” katanya.
Sebelum BPKP melakukan audit harga Pertamina, seharusnya pihak BPKP menanyakan pihak Kemenkeu sejauh mana mereka percaya terhadap kredibilitas BPKP.
“Kalau kemudian akan menjatuhkan kredibilitas BPKP dan hasilnya tidak percaya, untuk apa melakukan audit? Tokh hasilnya akan diabaikan?” ujarnya.
Menurutnya Pertamina seharusnya dapat menyetujui audit ulang untuk harga pada tahun 2014, namun jangan kemudian Kemenkeu ikut mengarahkan BPKP yang berujung akan merugikan Pertamina.
“Dan semua pihak harus profesional dan konsekwen. Kalau hasil audit harganya dibawah harga kesepakatan sekarang maka Pertamina harus siap menurunkan harganya. Sebaliknya kalau ternyata hasil auditnya lebih tinggi maka dirjen anggaran dan pihak PLN harus setuju terhadap kenaikan tersebut. Dan harus percaya!” tegasnya.
Hentikan Pasokan
Sebelumnya (FSPPB) menyatakan dukungan agar Pertamina menghentikan pasokan BBM solar ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena Pertamina telah dirugikan PLN sebesar 45 juta US Dollar.
“Untuk tidak menambah kerugian Pertamina yang sudah mencapai sekitar 45 juta US Dollar wajar kalau Pertamina menghentikan pasokan BBM-solarnya ke PLN setelah pertamina selesai menyalurkan sebanyak 50% dari volume BBM tahun ini,” demikian Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Ugan Gandar kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (11/8).
Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyayangkan sikap PT PLN yang tidak mau menerima penawaran harga dari Pertamina yang sudah dua kali melakukan penurunan penawaran harga BBM, sementara PLN tidak pernah berusaha memberikan kenaikan harga penawaran.
“Kalau PLN mau membeli BBM dari perusahaan lain atau impor seperti yang digembar-gemborkan oleh mereka ya silahkan saja. Kalau mau diselesaikan perselisihan ini selesaikan Bisnis to Bisnis. Jangan pakai jalan yang aneh-aneh. Inilah yang menyebabkan berlarutnya penyelesaian Pertamina-PLN. Jadi aneh kalau Pertamina dijadikan kambing hitam karena ketidak mampuan Manajemen PLN dalam mengelola bisnisnya,” tegas Ugan Gandar.
Menurutnya, masyarakat harus paham bahwa sejak tahun 2003 Pertamina sudah berubah bentuk menjadi Perusahaan Persero walaupun masih tetap mendapatkan penugasan khusus dari pemerintah terkait pengadaan dan penyaluran minyak atau BBM di Indonesia.
Bukan Lembaga Sosial
Anehnya menurut Ugan Gandar, sekalipun Pertamina sudah menjadi Persero, tapi hingga saat ini PT Pertamina dijadikan ‘lembaga sosial’ yang harus meminjamkan BBM-nya termasuk avtur-nya ke institusi-institusi pemerintah seperti PLN, Garuda, Merpati termasuk TNI.
“Diambil produknya tapi dibayarnya kapan-kapan tergantung keadaan keuangan institusi-institusi tersebut. Hutang institusi-institusi tersebut kalau diakumulasikan pernah mencapai sekitar Rp 86 Triliun,” ujarnya.
Rakyat harus tahu bahwa perselisihan Pertamina dengan PLN saat ini karena harga jual BBM pertamina ke PLN selalu dibawah harga ekonomi. Bahkan untuk semester I tahun 2014 ini kerugian penjualan BBM ke PLN sebesar Rp 45 juta USD atau setara diatas Rp 45 Miliar.
“Tapi saya tidak bisa memahami sikap Dirut PLN dan Serikat Pekerja (SP) PLN. Seolah-olah yang harus bertanggung jawab kalau terjadi pemadaman adalah Pertamina. Bahkan SP PLN akan mendemo Pertamina,”
Pada tahun 2013 menurutnya, Pertamina sudah mencoba arif mengikuti permintaan Dirut PLN, Nur Pamuji agar PT Pertamina diaudit oleh BPKP. Hal ini terlihat dari surat Dirut PLN yang ditujukan ke BPKP dengan nomor surat 317/610/DIRUT/2013 tertanggal 06 Maret 2013. BPKP melakukan audit terhadap PT Pertamina.
“Setelah itu apa yg terjadi, ternyata Dirut PLN mengabaikan hasil audit tersebut dan terus menekan pertamina agar menurunkan harganya,” ujarnya.
Kami sangat menyayangkan bahwa ketidakmampuan manajemen PLN untuk mengelola perusahaannya menjadi tanggung jawab PT Pertamina yang akan segera menyetop pasokan solar-nya. (Dian Dharma Tungga)