Selasa, 1 Juli 2025

Pemerintah Diamkan Perkebunan Kolonial Asiatic Persada

JAMBI- Ketua PRD Jambi, Mawardi melaporkan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) penerima lahan kompensasi harus berbagi hasil dengan perusahaan PT. Asiatic Persada. Selain itu mereka harus mengangsur pembayaran utang kredit perkebunan kepada perusahaan. Pola penyelesaian ini hanya kulit baru tapi isi lama yaitu pola kemitraan.
 
Lahan kompensasi 2.000 Ha ini menurutnya sangat bermasalah. Sebagian lahan yang diperuntukan untuk masyarakat SAD masuk di wilayah kawasan HPT (Hutan Produksi Terbatas) yang pemamfaatannya tanpa se-izin Kementerian Kehutanan RI.
 
“Ini pola kolonial. Rakyat bekerja ditanahnya sendiri.  Dipaksa bagi hasil dan dipaksa bayar kredit pada perusahaan. Pemerintah mendiamkan pola kemitraan ala kolonial,” ujarnya kepada bergelora.com Senin (12/5) di tengah aksi Suku Anak Dalam di Gebernuran, Jambi
 
Ia mennjelaskan bahwa sejak tahun 1994 pembukaan perkebunan sawit PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jamartulen adalah ilegal. Sebab kedua anak perusahaan PT. Asiatic Persada tersebut beroperasi tanpa mengantongi izin, baik izin lokasi pada tahun 2002 maupun HGU.
 
Pengalihan aset PT. Maju Perkasa Sawit (AMS) dan PT. Jamartulen seluas 7.150 Ha kepada PT. Asiatic Persada cacat hukum, pengalihan ini tanpa sepengetahuan BPN dan Pemerintah terkait, akibatnya negara dirugikan. Seharusnya PT. Asiatic Persada juga tidak boleh menerima pengalihan aset perkebunan baru dari perusahaan manapun sebab izin perkebunannya sudah melebihi batas maksimal HGU perkebunan 20.000 Ha.
 
Pembukaan lahan perkebunan secara illegal dan perambahan Kawasan Hutan ini semestinya ditindak secara hukum. Negara dan rakyat telah dirugikan. Karena itu, warga juga berencana melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” tegas Mawardi.
 
Selain itu massa aksi juga menolak hasil verifikasi Pemda BatangHari yang dilakukan Lembaga Adat Batang Hari., karena hasil verifikasi tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, serta keturunan (SAD) yang sebenarnya.
 
Hasil verifikasi ini juga tidak sesuai SK Bupati Batanghari, sebab terdapat oknum pemerintah yang sebagai penerima lahan kompensasi. Dari hasil verifikasi ini juga terdapat nama-nama gandadan tumpang tindih.
 
Selama proses verifikasi berlangsung, Lembaga Adat Batanghari bekerja tanpa melibatkan Tim Verifikasi yang telah ditetapkan, Pemerintah Desa, dan tokoh masyarakat adapt desa. Akibatnya, pemerintah mengesahkan proses verifikasi yang bermasalah. Jadi, Lembaga Adat Batanghari hanya menciptakan masalah baru, bukan menyelesaikanya.
 
Dalam prinsip penyelesaian konflik lahan yang mesti dicapai adalah keadilan agrariansesuai dengan UUPA No. 5/1960. ini dapat menjamin setiap warga Negara Indonesia mendapatkan kesempatan/akses atas tanah, agar terwujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat.
 
Praktek-pratek kolonialistik dalam pengelolaan agrarian yang hanya menguntungkan pemilik modal sudah semestinya diakhiri. Pemerintah harus kembali pada cita-cita konstitusi Pasal 33 UUD 1945, dimana kekayaan pertiwi ini sebesar-besarnya diperuntukan untuk rakyat. (Mahyudin)
 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru