JAKARTA- Terkait dengan tragedi di Mina, pemerintah harus secara tegas menuntut pemerintah Arab Saudi untuk membuka CCTV yang ditempatkan di Mina. Dengan membuka CCTV di Mina tersebut, diharapkan diketahui pasti penyebab yang sebenarnya atas tragedi tersebut secara otentik. Demikian catatan penyelenggaraan ibadah haji 2015 yang disampaikan Tim Pengawas Haji DPR RI, Khatibul Umam Wiranu kepada Bergelora.com, Minggu (4/10) di Jakarta.
Menurutnya Anggota Fraksi Partai Demokrat ini, Pemerintah perlu melakukan langkah diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi berkaitan dengan bantuan tim khusus untuk mengidentifikasi jenazah korban tragedi crane dan Mina (khususnya yang berasal dari Indoensia). Tim ini menjadi rujukan data pasti berapa banyak korban tragedi robohnya crane dan Mina secara up to date berapa jumlah korban meninggal, luka, dan hilang dengan disertai nama-namanya.
“Data dan informasi ini penting untuk tidak terjadi simpang siur pemberitaan, dan secara khusus menjadikan keluarga jamaah lebih tenang atas kondisi keluarga korban,” ujar anggota anggota Komisi VIII.
Ia juga mendesak Pemerintah RI untuk mempelopori negara-negara Islam untuk membuat forum internasional sebagai wadah melakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan penyelenggaraan ibadah haji, baik masalah yang lahir dari masing-masing negara pengirim jamaah haji, juga terutama mencari solusi terhadap masalah ketidakmampuan pemerintah KSA dalam penyelenggara haji.
Secara umum penyelenggaraan ibadah haji tahun 2015 ini berjalan baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh seperti pemondokan dan catering/ makanan, pelayanannya cukup memuaskan. Karena itu Kemenag RI sebagai penyelenggara perlu diberikan apresiasi. Meski dengan berbagai catatan seperti persoalan bis mogok, pelayanan kurang maksumal akibat banyak petugas haji yang kurang profesional, Menteri Agama harus melakukan evaluasi atas persoalan yang muncul.
“Namun demikian, dalam penanganan musibah saat penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah Indonesia tampak tidak siap. Salah satu penyebab utamanya dikarenakan daya tawar (bargaining) pemerintah Indonesia lemah di hadapan Kerajaan Saudi Arabia (KSA),” ujarnya.
Ia mengatakan Pemerintah RI ke depan juga harus bisa melakukan negosiasi secara sejajar dengan pemerintah Arab Saudi. Harus dicari cara agar pemerintah RI dapat melayani jamaah haji dengan baik. Terutama soal transportasi untuk jamaah.
“Karena dalam praktiknya, travel haji dari pihak swasta dari Indonesia mampu memberi pelayanan dengan baik kepada jamaahnya. Kalau memang pemerintah tidak mampu, opsi swastanisasi penyelenggaraan haji menjadi alternatif solusi,” ujarnya.
Selama sepekan pelaksanaan ibadah haji yakni tanggal 7-14 Dzulhijjah (puncak ibadah haji di Arafah dan Mina) menurutnya, tidak ada lagi peran pemerintah Indonesia dalam penyelenggaran ibadah haji. Karena seluruh kewenangan diambilalih oleh pemerintah Arab Saudi (Muassasah). Situasi ini jelas menyulitkan jamaah haji dari Indonesia. Persoalan yang muncul di lapangan saat wukuf di Arafah, tidak dapat diatasi dengan cepat. Karena memang semua peran penyelenggaraan diatasi oleh Muassasah.
“Saya menyarankan agar Menteri Agama dapat melanjutkan upaya terobosan yang pernah dilakukan Kemenag sebelumnya, khususnya di tujuh hari selama puncak ibadah haji yakni adanya peran pemerintah RI dalam melayani jamaah. Tidak seluruhnya diurus oleh pihak muassasah,” katanya.
Petugas haji juga menurutnya nampak tidak berperan karena banyaknya petugas haji yang ikut menjalankan ibadah haji. Kedepan kemenag harus tegas-tegas melarang semua petugas haji tidak boleh ikut ibadah haji. Sebab jika petugas haji diperbolehkan ibadah haji pasti ada interest pribadi, saat bertugas tak terhindarkan juga berupaya mencuri-curi waktu untuk ibadah.
“Pelayanan dan kepedulian perugas terhadap jamaah harus terbagi dengan kepentingan diri sendiri,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)