Oleh: Salamuddin Daeng *
PEMILU 2024 ini sedikit berbeda dengan pemilu sebelumnya. Selain akan berlangsung sangat berat karena serentak dan uangnya juga harus serentak, juga yang sangat menonjol adalah untuk pertama kali terjadi pertarungan tiga generasi.
Ini seru karena akan menjelaskan siapa perusak konstitusi dasar Indonesia, siapa pengkhianat bangsa sesungguhnya.
Generasi satu adalah generasi sisa sisa orde baru, mereka ikut menikmati orde baru, namun setelah reformasi mereka melipir meninggalkan orde baru.
Ada yang melipir kosong, ada yang membawa kabur uang BLBI. Uang itu dibagi-bagi diantara mereka dan masih beredar sampai sekarang. Generasi ini sukses menyimpangkan pancasila dan UUD 1945 untuk memperkaya diri dan menimbukkan prasangka buruk yang luas atas dasar negara Republik Indonesia.
Generasi kedua adalah generasi yang berteriak agar Suharto mundur, lalu sukes menjatuhkan orde baru dengan dukungan dana BLBI dan internasional. Celakanya generasi ini telah diperalat untuk mengubah UUD 1945 oleh suatu kepentingan yang sangat besar, sehingga UUD negara Indonesia tidak lagi sejalan dengan amanah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan tidak lagi sejalan dengan Pancasila. Generasi ini sampai sekarang masih aktif berjuang untuk melanjutkan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik Indonesia.
Generasi ketiga adalah kaum milenial. Mereka berumur 40 tahun ke bawah. Meski mereka ikut pemilu liberal sekarang tapi di antara mereka ada yang belum lahir waktu reformasi 98. Ada yang masih bayi, dan ada yang masih sekolah dasar.
Generasi ini tidak ikut membuat kekacauan konstitusi seperti sekarang dan ada yang belum tau mengapa negara ini keadaan politiknya makin kacau dan ekonominya menuju bangkrut.
Bagusnya generasi milenial ini adalah gererasi yang berpandangan positif melihat masa depan. Mereka dilengkapi alat baru namanya digitalisasi, suatu sumber daya yang menempel di tangan mereka untuk melakukan produksi dan produktifitas. Mereka punya cara bertahan hidup, mencipta pekerjaan dan lain sebagainya,–yang tidak dimengerti penuh oleh generasi sebelumnya.
Generasi milenial ini untuk pertama kalinya terwakilkan dalam pilpres, karena ada salah satu calon wakil presiden yang merupakan bagian dari mereka. Tapi kehadiran perwakilan milenial ini diobok-obok atau dipersoalkan karena dianggap masih unyu-unyu oleh generasi satu dan generasi dua.
Barangkali maunya yang tua-tua adalah milenial yang jumlahnya separuh dari peserta pemilu ini cukup digiring ke TPS seperti bebek, untuk memilih, tapi tak perlu berhak dipilih karena masih piyik. Barangkali begitu maunya. Walllahualam.
*Penulis Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi politik