Oleh: dr. Yenny Tan, MARS*
MENURUT data dari Kemenkes, Indonesia saat ini hanya ada 51.949 dokter spesialis. Jumlah ini sangat kurang jika dibandingkan dengan rasio penduduk dibanding dokter spesialis.
Saat ini di Indonesia hanya ada 21 penyelenggara program studi spesialis dan semuanya university-based. Oleh karena ini jumlah dokter spesialis jauh dibawah target rasio yang dibutuhkan negara.
Isu yang sering dibahas adalah pro dan kontra university-based residency program vs. hospital-based program untuk program didik spesialis. Hospital-based program dapat membantu produksi dokter spesialis yang berkualitas dan membantu dalam distribusi
dokter spesialis di daerah 3T.
Pada dasarnya university-based maupun hospital-based tidak beda jauh, yang membedakan university-based vs hospital-based program hanya dalam proses seleksi dan penerimaan yang ditentukan oleh pihak universitas atau dilakukan di rumah sakit, pada akhirnya university-based maupun hospital-based akan menyelenggarakan program pendidikan pada rumah sakit, dimana calon dokter spesialis dapat bekerja dan belajar menangani pasien dengan langsung.
Indonesia saat ini membatasi dan memonopoli program pendidikan spesialis hanya diselenggarakan di university-based, tapi kenyataan nya tidak ada satu pun program spesialis di dunia ini yang murni university-based. Bahkan bisa dibilang di Indonesia selama ini hospital-based karena nyatanya saat menjalani masa pendidikan dokter spesialis akan 100% dilakukan di rumah sakit.
Banyak yang menentang hospital-based program dengan alasan standar proses, standar sumber daya manusia dan standar sarana/prasarana. Tapi faktanya di tiap universitas yang menyelenggarakan program spesialis di Indonesia saat ini pun tidak bisa dibilang semua sama dalam segi kualitas nya, peralatan-peralatan nya, staf pengajar nya, variasi dan heterogeneity akan selalu ada.
Dari segi peralatan kesehatan, saat ini di Indonesia di rumah sakit swasta tertentu alat-alatnya bahkan lebih lengkap dari rumah sakit universitas. Dari segi staf, banyak diantara staf pengajar yang tidak bekerja full-time di rumah sakit pendidikan. Jadi bisa disimpulkan bahwa alasan-alasan sebelumnya yang mempermasalahkan hospital-based tidak berdasar.
Dengan adanya standardized test atau ujian nasional yang menjadi patokan penilaian kompetensi dokter spesialis, pemerintah dapat seleksi dan menilai kualitas dokter spesialis tersebut. Sebagai contoh, di Singapore menggunakan standard ujian internasional UK untuk menjadi patokan kompetensi dokter spesialis, dan inilah yang menjadikan kualitas pelayanan kesehatan Singapore menjadi salah satu yang terbaik di Asia.
Sistem yang saat ini, yaitu university-based program sangat urgent untuk diperbaiki. Sudah bukan rahasia umum bahwa proses seleksi universitas tidak transparan. Banyak terjadi diskriminasi dan nepotisme. Pemerintah harus mengambil alih untuk membuat standard dan transparansi dalam program pendidikan dokter spesialis. Oleh karena itu diharapkan untuk ada nya peraturan yang jelas untuk university-based maupun hospital-based program untuk dokter spesialis.
*Penulis, dr. Yenny Tan, MARS, Ketua Umum Jenderal Forum Dokter Susah Praktek (FDSP)