Oleh: Efraim Anugrah Samperompon*
Era maritim, rezim maritim, bahkan iklim maritim dapat kita sematkan untuk program tol laut yang dihadirkan pemerintahan saat ini. Pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang program ini, giat dilakukan di seluruh penjuru negeri. Irama palu, gurinda, dan amplas menyusuri permukaan baja kapal di galangan-galangan kapal nasional, dentuman tiang pancang pelabuhan di berbagai pantai terdengar keras membahana dipesisir laut, hingga bisingnya stom kapal-kapal niaga yang berteriak lantang di laut nusantara.
Tol laut bagaikan lagu yang dicover ulang namun terdengar lebih easy listening yang dinyanyikan oleh pemerintah saat ini. Sebelumnya “Pendulum Nusantara” lebih dahulu hadir dalam program Pelindo sejak tahun 2012 yang bila mana disandingkan mempunyai maksud yang sama dengan program Tol laut. Kita tidak dalam hal mempertanyakan hak cipta gagasan, namun lebih melihat prioritas program yang ditempatkan oleh pemerintahan saat ini dan sebelumnya.
Didalam konsep pembangunan konektivitas maritim tersebut, baik tol laut maupun pendulum nusantara menempatkan 24 pelabuhan sebagai penopang program, yang terbagi menjadi 2 cluster, terdiri dari 5 pelabuhan utama dan 19 pelabuhan penghubung. Program ini memakai teori jaringan Hub-Spoke sebagai desain rute Tol laut. Hub adalah pelabuhan Utama dan Spoke adalah pelabuhan Penghubung. Teori Jaringan ini juga membagi cluster pada kapal yang melayani kedua cluster pelabuhan yang telah dibagi, kapal besar melayani pelabuhan utama dan kapal yang relatif kecil akan melayani pelabuhan penghubung.
Kurang lebih dua tahun program ini berjalan, namun belumlah berjalan efektif mengingat program Tol Laut masih dalam tahap pelaksanaan. Oleh karena itu tim MARIN Nusantara akan menganalisa dua tahun efektifitas pelaksanaan Tol Laut.
Desain Rute
Dalam perjalanan panjangnya hingga saat desain rute Tol laut ini belum tampak efektif karena masih mengalami beberapa kelemahan. Teori jaringan Hub-spoke yang diguanakan terlihat belum efektif, mengingat teori ini akan maksimal apabila rasio jarak ‘hub-hub’ terhadap jarak ‘hub-spoke’ sangat besar. Namun teori ini terkendala oleh kondisi geografis alam Indonesia yang mempunyai bentangan luas yang menjadikan rasio jarak hub-hub terhadap hub-spoke relatif kecil.
Oleh karena itu pendekatan point to point akan menjadi sangat efektif dan efisien jika dilakukan. Sebagai perbandingan, akan lebih murah menggunakan kapal ukuran menengah dari Surabaya langsung ke Merauke dibandingkan kapal besar dari Surabaya ke Makasar kemudian ke Sorong lalu dilanjutkan dengan kapal kecil ke Merauke, dengan kata lain akan ada biaya tambahan seperti biaya bongkar muat di pelabuhan yang disinggahi dan bertambahnya waktu perjalanan.
Efektifitas
Industri Pelayaran yang dianggap mampu untuk memperlancar konektivitas Indonesia saat ini juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Perusahaan BUMN PT. PELNI yang mendapatkan dana PSO sejak tahun 2015 dalam rangka pengadaan sejumlah kapal cargo berukuran 3000 TeUS untuk melayani rute Tol Laut yang berfokus pada daerah di Indonesia bagian Timur.
Di perjalanan pengoperasian kapal-kapal tersebut beroperasi mempunyai ukuran yang tidak sesuai atau terlalu besar dengan arus barang yang sedikit untuk dilayani. Karena yang Perlu diingat bahwa Industri Pelayaran bekerja dengan sistem Ship Follow the Trade dan bukan sebaliknya.
Disparitas harga
Disparitas harga ataupun perbedaan harga di kota-kota pelabuhan utama (hub) sangat kecil. Perbedaan harga di Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan Bitung mengakibatkan peluang perdagangan dari perbedaan harga antar pasar relatif kecil.
Bercermin dari analisa tersebut, dibutuhkan pengembangan rute alternatif seperti Bitung ke Sorong yang notabene disparitas harga di dua daerah ini cukup tinggi namum dengan jaraknya yang dekat. Untuk itu desain rute tol laut harus segera di disinergikan dengan arus perdagangan di kawasan Indonesia Timur. Tidak relevan apabila hanya sekedar menghubungkan kawasan Industri Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur sebagai pasar dan tujuan.
Indonesia timur seharusnya mempunyai kawasan industrinya sendiri. Diperlukan kearifan pemerintah baik pusat maupun daerah karena konektivitas tidak dapat dirumuskan secara terpisah. Desain konektifitas ini harus melihat dari segala aspek seperti skala ekonomi, disparitas harga, potensi daerah dan kawasan, serta pengembangan industri yang jelas sesuai karakteristik daerah atau kawasan.
Skala Ekonomi
Dari sisi skala ekonomi, bahwa realitas sampai saat ini ketimpangan masih terasa di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku dan Papua Ini dilihat dalam nilai laporan PDRB yang relatif rendah di beberapa kota di Indonesia Timur. Ini dapat menggambarkan arus logistik maupun penumpang yang keluar masuk di daerah tersebut.
Pengembangan Kawasan Industri
Dalam pelaksanaannya pelabuhan Makassar masih menjadi pintu gerbang (tumpuan) untuk konektivitas Indonesia bagian timur yaitu kepulauan Maluku dan Papua. Pemerintah nampaknya terlihat lambat dalam mengembangkan kawasan industri yang akan menjadi pintu masuk dan keluarnya arus logistik di Indonesia bagian timur.
Bitung sebagai pelabuhan utama masih belum terlihat mampu untuk melayani daerah belakangnya, yaitu kepulauan Maluku dan Papua, ini dapat terlihat nyata karena di Bitung belum di kembangkan kawasan Industri yang terintegrasi layaknya di kota Makassar.
Pengembangan kawasan industri di Bitung diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kepulauan Maluku dan Papua tanpa berharap pasokan dari Jawa dan Makassar. Oleh karena itu konsep kawasan industri yang terintegrasi merupakan jawaban atas terkendalanya Bitung sebagai tumpuan (pelabuhan Utama) di Indonesia timur.
*Penulis adalah Wakil Direktur Maritime Risearch Institute (MARIN Nusantara), alumni Teknik Kelautan Universitas Hasanuddin