Sabtu, 5 Oktober 2024

PERNAH TUMBUH 8℅ LOH..! Sri Mulyani: Regulasi Ribet Bikin RI Terancam Middle Income Trap

JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terus berupaya menyederhanakan regulasi. Dia mengatakan regulasi yang rumit menjadi salah satu sebab sebuah negara terjebak dalam middle income trap.

“Karena untuk bisa mencapai high income country, maka Indonesia harus bisa menghindarkan dari middle income trap,” kata dia dalam Rakornas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah, di Jakarta, Senin, (23/9/2024).

“Dan middle income trap itu biasanya muncul dalam bentuk regulasi dan policy yang membuat rumit suatu perekonomian dan makin mebebankan kepada masyarakat,” kata dia lagi.

Sri Mulyani mengatakan dalam upaya menyederhanakan regulasi pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Dia mengatakan UU tersebut dibuat untuk mengharmonisasi antara belanja pusat dan daerah.

“Ini adalah upaya secara peraturan perundang-undangan untuk melakukan harmonisasi belanja pusat dan belanja daerah atau bahkan kebijakan fiskal pusat dan daerah, sehingga sinergi tersebut mampu menghasilkan dampak,” kata dia.

Dia berharap dengan adanya harmonisasi itu, maka sebuah kebijakan fiskal pemerintah akan semakin berdampak untuk masyarakat. Dia mengatakan UU HKPD menjadi momentum penguatan sinergitas antara fiskal pusat dan daerah.

“Di dalam Undang-Undang HKPD tersebut, kita terus memperkuat momentum penguatan sinergitas antara kebijakan fiskal pusat dan daerah,” kata dia.

Pernah Tumbuh 8%

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sebelumnya Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia akan sulit untuk bisa lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap, bila tak mampu memacu pertumbuhan ekonomi hingga 7%-8% dari yang saat ini selalu stagnan di kisaran 5%.

Ini ia katakan merupakan hasil pembelajaran dari negara-negara yang berhasil lepas dari status middle income trap, dan jumlahnya hanya sedikit. Berdasarkan catatan Bank Dunia, sejak era 1990-an hanya 34 negara yang berhasil keluar dari middle income trap sedangkan sisanya, yakni 108 negara terjebak di status negara berpendapatan menengah.

“Jadi jika anda melihat negara yang berstatus pendapatan tinggi, itu hanya bisa dicapai jika anda memiliki pertumbuhan yang tinggi,” kata Sri Mulyani dalam acara The International Seminar and Growth Academy ASEAN di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (23/9/2024).

Sri Mulyani mengatakan, sebetulnya Indonesia pernah merasakan laju pertumbuhan ekonomi di kisaran 7%-8% pada era 1990-an. Pada periode 1989-1996 atau pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu terjaga secara rata-rata di level 8%.

“Dalam 50 tahun terakhir dalam sejarah Indonesia, pertumbuhan tertinggi yang sebetulnya pernah kita capai ialah pada era 1990-an, saat kita bisa memperoleh pertumbuhan ekonomi di kisaran 8%. Ini sama persis dengan India saat ini. Itu kenapa sekarang setiap orang memuji-muji India kini dan seperti China selama dua dekade terakhir,” kata Sri Mulyani.

Namun, ia menekankan, tren laju pertumbuhan ekonomi yang seperti India itu tidak berlangsung lama di Indonesia. Pada era 2000-an ekonomi Indonesia terbilang stagnan selama 24 tahun terakhir hingga kini dengan rata-rata pertumbuhan di kisaran 5%. Hal ini yang menyebabkan Indonesia belum mampu lepas dari middle income trap.

“Di era saat ini, ketika ada ancaman perubahan iklim, tantangan teknologi digital, perang, geopolitik, serta ketidakpastian ekonomi yang muncul dari tekanan inflasi di negara-negara maju, bagaimana kita bisa mencapai 6% atau bahkan 7%?” ucap Sri Mulyani.

Oleh sebab itu, ia menekankan, kunci untuk bisa mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih cepat ke depan ialah dengan melakukan reformasi struktural yang lebih taktis. Artinya, pembangunan modal manusia dan infrastruktur harus bisa dilakukan lebih rinci dan mudah diimplementasikan.

“Ini juga tentang meningkatkan daya saing industri hilirisasi di Indonesia. Jadi, reformasi struktural tersebut adalah kunci untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah,” tegas Sri Mulyani.

Penyebab Terjebak di 5 Persen

Sementara itu biaya investasi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia masih tergolong tinggi, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara ini terjebak di level 5 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ICOR Indonesia pada tahun 2023 mencapai angka 6,33. ICOR merupakan salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara.

Semakin kecil angka ICOR, semakin efisien biaya investasi yang dikeluarkan untuk menghasilkan output tertentu.

Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto, menilai bahwa dengan ICOR yang masih tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mengalami akselerasi.

“Kemungkinan pertumbuhan ekonomi hanya bisa di level 5 persen,” ungkap Eko, Minggu (22/9).

Eko juga menambahkan bahwa dengan ICOR di level tersebut, target investasi sekitar Rp 1.600 triliun masih dianggap realistis.

Namun, untuk mencapai target tersebut, diperlukan dukungan anggaran pelaksanaan yang memadai.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyatakan bahwa jika ICOR Indonesia tidak kompetitif dengan negara-negara di Kawasan ASEAN, yang memiliki ICOR di kisaran 4 persen hingga 5 persen, hal ini akan menghambat masuknya investasi.

“Kondisi ICOR yang masih tinggi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Shinta.

Shinta menjelaskan bahwa setiap 1 persen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) memerlukan kenaikan investasi sebesar 6,8 persen.

Jika pemerintah menargetkan pertumbuhan 6 persen hingga 7 persen, maka dibutuhkan rasio investasi terhadap PDB sekitar 41 persen hingga 47 persen.

Sementara itu, pada tahun 2023, rasio investasi Indonesia baru mencapai 29,9 persen terhadap PDB.

“ICOR kita masih tinggi, dan kita harus meningkatkan efisiensi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk membantu agar kita bisa mencapai pertumbuhan yang optimal,” tutur Shinta dalam agenda Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2024, Senin (29/7).

Shinta juga menekankan pentingnya meningkatkan efisiensi di berbagai sektor, seperti biaya keuangan atau suku bunga, biaya kepatuhan atau birokrasi, biaya kepastian hukum, serta biaya energi dan tenaga kerja. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru