JAKARTA- Perpanjangan kontrak karya (KK) PT. Freeport Indonesia untuk eksploitasi sumber daya alam (SDA) mineral Papua tidak bisa hanya diputuskan sepihak oleh pemerintah pusat seperti yang dilakukan antara Ketua DPR dan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Demikian Presidum Indonesia Timur (PPIT), Laode Ida kepada Bergelora.com di Jakarta Rabu (4/2).
“Rakyat Papua harus dilibatkan dalam perpanjangan KK itu. Rakyat Papua diwakili oleh Gubernur, Ketua DPR Papua, Ketua MRP Papua dan unsur tokoh masyarakat,” tegasnya.
Menurut mantan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini, keharusan pelibatan pihak Papua ini didasarkan pada bebera pertimbangan. Pertama, terkait dengan Undang-undang Pemda dalam pengelolaan SDA merupakan bagian otoritas Pemda.
“Demikian juga dengan Undang-undang Otsus Papua. Jadi pemerintah pusat maupun DPR tak bisa membahasnya apalagi menyetujuinya sepihak,” ujarnya.
Kedua, menurutnya terkait dengan upaya menjadikan pengelolaan SDA Papua agar bisa dinikmati sebesar-besarnya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua khususnya penduduk aslinya.
“Pengalaman selama ini, berdasarkan KK yg ada, sangat kecil sekali bagian untuk rakyat Papua dari keuntungan yang diperoleh oleh Freeport. Bahkan untuk minta 1 persen saja dari keuntungan perusahaan tambang emas asal Amerika itu baru bisa diperoleh setelah dilakukan demonstrasi besar-besaran,” jelasnya.
Ia menjelaskan, demonstrasi besar itu pernah terjadi pada tahun 1996, saat Gubernur Barnabas Suebu saat itu harus menekan Freeport dan pemerintah pusat meyakinkan dengan simulasi.
“Hanya mengambil 1 biji anggur di antara 100 biji yang tersedia di atas meja, sebagai contoh dari mengambil 1 persen saja 100 persen keuntungan yang diperoleh Freeport,” jelasnya.
Ketiga, tak terlibatnya pihak Papua dalam proses renegosiasi perpanjangan KK berimplikasi pada terabaikannya kepentingan Papua dalam menentukan kebijakan ekspoitasi SDA yang dimiliki rakyat Papua.
“Adanya rencana pembangunan smelter di Jawa Timur oleh Freeport yg cenderung disetujui oleh pemerintah merupakan bukti konkret dari pengabaian terhadap kepentingan rakyat Papua,” tegasnya.
Ia mengingatkan agar Pemerintahan Jokowi benar-benar wujudkan agenda pembangunan berorientasi daerah, apalagi sudah jadi fakta tak terbantahkan bahwa kawasan timur Indonesia umumnya tertinggal, padahal memiliki potensi SDA yang sangat kaya.
Pemerintah Khianat
Sebelumnya Salamuddin Daeng dari Institute for Global Justice (IGJ) mengatakan Pemerintah Joko Widodo telah berkhianat pada rakyat Indonesia dalam sengketa dengan PT Freeport Indonesia.
“Jokowi menyelesaikan masalah sengketa negara Republik Indonesia dengan Freeport dengan membuat MOU secara ilegal dengan Freeport berisikan kemudahan kepada Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan mentah,” ujarnya.
Jokowi juga menurutnya mencabut pajak yang tinggi kepada Freeport terkait dengan ekspor bahan mentah dan memberikan kemudahan kepada Freeport untuk mengulur ulur membangun smelter.
Padahal menurutnya ratusan perusahaan tambang nasional telah bangkrut akibat Undang-undang Minerba dan ribuan tenaga kerja juga telah di PHK karena perusahaan perusahaan nasional tidak sanggup membangun smelter.
“Apa yang dilakukan Jokowi adalah pengkhianatan terbesar kepada bangsa, negara dan rakyat negeri sendiri, setelah pemerintahan sebelumnya mencoba melakukan upaya untuk mengubah strategi ekploitasi kekayaan alam tambang melalui UU Minerba. Presiden Jokowi telah membuang Trisakti nya ke dalam tong sampah,” tegasnya. (Web Warouw)