Oleh: Nirmal Ilham *
HAMPIR setiap rejim di Indonesia bermasalah dengan harga BBM. Padahal harga BBM merupakan hilir dari permasalahan minyak. Sedangkan hulu dari permasalahnnya ada di Pertamina. Lalu bagaimana sebenarnya kinerja Pertamina dalam mengelola minyak nasional. Apakah Pertamina membuat jebakan Batman kepada setiap rejim?
Minyak adalah satu-satunya komoditas yang tidak berhubungan dengan inflasi. Karena minyak mempunyai efek ekonomi yang besar dan pengaruh politik yang luas. Hal ini dapat dilihat pada harga BBM saat ini di Iran Rp 900 per liter dengan produksi 3,5 juta barel per hari (bph). Dan Venezuela Rp 330 per liter dengan produksi 1,5 juta bph.
Dengan demikian harga BBM hanya berhubungan dengan produksi yang besar dan kebijakkan pemerintah yang berpihak pada rakyat. Sehingga yang membentuk harga BBM adalah produksi dan kebijakkan. Pertamina dan Presiden.
Bila kinerja Pertamina bagus, dalam artian produksinya besar bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Maka otomatis presiden akan mengeluarkan kebijakkan yang berpihak pada rakyat. Dalam artian membuat harga BBM murah. Karena tujuan semua pemimpin ingin rakyatnya sejahtera.
Pada era Suharto, produksi minyak yang sangat tinggi (1,3 juta – 1,6 juta bph pada 1973 – 1998), harganya dibuat sangat rendah. Dari sisi ekonomi, rakyat menikmati harga kebutuhan pokok yang murah. Proses industrialisasi berjalan. Iklim investasi kondusif. Dan menciptakan banyak lapangan kerja. Dari sisi politik, berimplikasi pada langgengnya kekuasaan Suharto.
Undang Undang No. 8 Tahun 1971 era Suharto (menggantikan UU No. 44 Tahun 1960 era Sukarno yang dinilai keras karena berlandaskan Pasal 33 UUD45) memberi Pertamina kekuasaan yang besar. Pertama, Pertamina penguasa tunggal dalam hulu produksi minyak yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi, dan pengolahan minyak. Termasuk bagi hasil produksi perusahaan minyak asing yang sesuai UU, 65% untuk Pertamina dan 35% bagi asing.
Kedua, Pertamina penguasa tunggal dalam hilir produksi minyak yaitu memonopoli penjualan minyak ke luar negeri dan di dalam negeri. Sehingga kekuasaan Pertamina adalah sebagai penambang dan pedagang sekaligus.
Pada prakteknya Pertamina justru senang sebagai pedagang bukan penambang. Terbukti di era Suharto, produksi minyak Pertamina hanya berkontribusi 15% (di bawah 200 ribu bph) dari produksi nasional. Produksi terbanyak berasal dari Chevron 60% (hampir 1 juta bph). Sisanya dari Exxon, Total, BP dan Conoco Philips.
Kinerja Pertamina yang lemah inilah kemudian menjadi awal kejatuhan Suharto. Karena Suharto terpaksa menaikkan harga BBM akibat konsumsi BBM nasional yang semakin besar mengurangi jumlah ekspor minyak. Sedangkan ketergantungan pada hasil devisa minyak mencapai 60% – 70% pendapatan negara.
Pada era reformasi yang berwatak liberal, UU No. 8 Tahun 1971 diganti UU No. 22 Tahun 2001 yang otaknya adalah Mentamben SBY. Dalam UU itu, di sektor hulu kekuasaan Pertamina diambil alih BP Migas yang membuat kedudukan Pertamina sama dengan perusahaan asing. Di sektor hilir, kekuasaan Pertamina diambil alih BPH Migas yang membuat Pertamina tidak lagi memonopoli penjualan BBM karena perusahaan asing boleh menjual BBM di dalam negeri.
Undang-Undang ini pun gagal menaikkan produksi. Membuat Indonesia menjadi net importer minyak mulai tahun 2004. Pemerintahan SBY yang panik kemudian menaikkan harga BBM secara brutal sebanyak dua kali di tahun 2005. Dari Rp 1.800 menjadi Rp 2.400 pada Maret. Dilanjutkan Rp 2.400 menjadi Rp 4.500 di Oktober. Terakhir SBY menaikkan BBM tahun 2008 menjadi Rp 6.000 per liter.
Pada era Jokowi, produksi minyak nasional tidak sampai 700 ribu bph sejak 2009 sampai saat ini. Harga impor BBM diombang-ambing oleh harga dunia. Terakhir Perang Rusia – Ukraina membuat harga minyak dunia menembus USD 100 per barel dari sebelumnya dibawah USD 50 per barel. Ditambah nilai tukar dolar AS yang menembus Rp 15.000.
Jokowi akhirnya dipaksa menaikkan harga BBM 30% menjadi Rp 10.000 per liter. Yang kemudian membuat rakyat marah. Posisi Jokowi saat ini terjebak. Ditekan oleh rakyat dari depan dan ditekan Pertamina dari belakang. Karena kinerja Pertamina yang tidak mampu menaikkan produksi, inefisiensi, dan korupsi.
Kontribusi produksi Pertamina saat ini memang naik mencapai 60% (350 ribu bph) dari produksi minyak nasional. Namun ini bukan karena prestasi Pertamina, tetapi karena Chevron melepas Blok Rokan, Riau kepada Pertamina tahun lalu. Yang produksinya hampir 200 ribu bph.
Ada tiga kesalahan besar Pertamina yang terjadi sejak dibentuknya hingga saat ini, dan itu merugikan rejim berkuasa. Pertama, sengaja tidak fokus pada peningkatan produksi. Kedua, sengaja tidak membuat pengolahan minyak di dalam negeri. Dan ketiga korupsi yang terus terjadi.
Pertamina justru berusaha mengalihkan kesalahan yang dibuatnya dengan menyebut-nyebut ada mafia yang mengatur pengolahan minyak Indonesia di Singapura. Ada sindikat yang mengatur impor minyak Indonesia. Ada kebocoran BBM bersubsidi yang dinikmati pengusaha hitam, dst.
Tapi orang bodoh pun tahu, Indonesia yang kaya akan potensi minyak bila mampu dimaksimalkan Pertamina maka tidak akan ada yang namanya mafia, sindikat, dan pengusaha hitam yang menghantui. Karena hantu yang sesungguhnya itu ada di dalam Pertamina.
* Penulis, Nirmal Ilham, Tenaga Ahli di DPR RI