JAKARTA- Pemilihan kepala daerah (Pilkada) lewat mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menutup peluang dan mematikan kaum perempuan untuk mengekspresikan aspirasi politiknya di legislatif. Karena DPRD sangat didominasi oleh laki-laki. Hal ini disampaikan oleh anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (28/9).
“Selama ini perempuan tidak terwakili baik di DPRD maupun di partai politik yang male’s domination. Sehingga kalau diserahkan ke DPRD, maka tertutuplah peluang perempuan untuk mengekspresikan aspirasi. Karena kita paham DPRD hanya perpanjangan parpol seperti yang kita lihat terjadi di voting Kamis (25/9) lalu,” ujarnya.
Menurutnya, meski merugikan perempuan, tetapi anggota legislatif perempuan voting untuk pilkada tak langsung karena takut recall, atau tidak dilantik bahkan dipecat.
“Jadi kelak yang terjadi di DPRD (waktu pilkada-red) juga akan demikian. Sepanjang masih ada hak recall, DPRD hanya perpanjangan elit parpol. Recall tetap jadi persoalan meski kuota 30% perwakilan perempuan tercapai” tegasnya.
Jadi menurutnya, Undang-undang Pilkada dengan pilkada lewat DPRD adalah perampasan hak rakyat oleh oligarki partai politik.
“Dalam pemilihan langsung, perempuan bisa kontrak politik dengan kandidat dan memeilih yang mereka mau. Dalam pemilihan lewat DPRD, agenda perjuangan kaum perempuan akan marginal,” tegasnya.
Walaupun banyak kader perempuan di dalam satu partai menurutnya, belum tentu kaum perempuan punya kekuasaan untuk memperjuangkan dirinya. Hal ini terjadi hampir disemua partai disemua lapisan dari tingkat nasional sampai ranting.
“Banyak (perempuan dalam partai-red) tapi belum tentu berkuasa. (Walaupun perempuan-red) pinter sundul langit, tapi juga kalah dengan yang (laki-laki-red) bodoh tapi berkuasa,” jelasnya.
Menurutnya kesulitan lain di dalam hampir semua partai adalah mainset dan sikap kaum perempuan yang justru mempertahankan penjajahan pada dirinya seperti dalam voting RUU Pilkada lalu.
“Ada lagi para perempuan sudah terjajah oleh patriarki tapi kemudian malah ikut menindas perempuan seperti yang di atas tadi (voting RUU Pilkada-red) menyuarakan kepentingan laki-laki dan melanggengkan dominasi laki-laki,” ujarnya.
Selama ini kaderisasi dan pendidikan politik pada perempuan belum berjalan dan tidak terorganisir sehingga sulit untuk mengkonsolidasikan gerakan kaum perempuan didalam partai politik ataupun legislatif.
“Sisterhood sulit dibangun. Nurul arifin begitu jadi jubir, terserap juga dengan habitatnya. Jadi jalan keluar untuk untuk keterwakilan perempuan hanya pilkada langsung,” ujarnya. (Web Warouw)