Senin, 16 September 2024

Piye Kabare Gong hingga Wong Fei-hung:Mengenang Raharjo Waluyo Jati

Oleh: Eddy Suprapto

TERIK matari pecah pada hari Senin, 8 Agustus 2023 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,Jakarta. Sejak pagi tadi sejak pukul 06.00 pesan dari WAG Paguyuban Darah Juang dan Gang Kelinci, yang beranggotakan para mantan jurnalis anggota Alianai Jurnalis Independen telah ramai mengkabarkan seorang kawan seperjuangan kami, Raharja Waluyo Jati telah meninggal.

Seperti mimpi, padahal 3 minggu lalu kami masih ngopi di kawasan Kuningan.

“Bung, sudah tau ya?!” tanya Nezar Patria melalui telpon.

” Ya! ” jawabku. “Aku akan menuju RSCM setelah meeting pertama,” lanjutku lagi.

Jati bersama kawan kawan seperjuangannya di PRD: Dari depan Anom Astika, Jayadi, Jati, Garda, Suroso dan Buyung (berdiri). (Ist)

“Saya batalkan semua meeting,” tutur Nezar dengan nada sedih.

Akupun segera meluncur, hanya sempat mendaratkan kaki 10 menit di kantor. Langsung menuju RSCM.

Ada lagi! Senin, 7 Agustus 2023 kawan kami Nirwan Arsuka pun meninggal di rumah sakit yang sama Dokter Cipto Mangunkusumo. Dua kawan yang sama-sama lulusan UGM ini pergi bersamaan. Rasanya terlalu cepat kehilangan mereka berdua. Baik Nirwan dan Jati pernah bekerja sama di pengorganisasian massa tani dada ini tertekan rasanya!


Raharjo Waluyo Jati aktivis PRD kelahiran 24 Desember 1969 ini terdeteksi terkena serangan jantung pada pagi hari pukul 05.00. Sampai di Unit Gawat Darurat kabarnya almarhum harus menunggu sekitar satu jam menunggu penanganan. Saya tidak berada di lokasi masih berandai andai jika penanganan di unit gawat darurat cepat mungkin masih tertolong. Masih berandai andai seolah ada “golden moment” terlewatkan. Sekali lagi di rumah sakit pejuang bernama RSCM. Jati harus berpisah dengan kami.

Jati, kami memanggilnya. Seorang pribadi yang ramah walaupun dengan orang yang baru dikenal, apalagi dengan kawan lama. Hangat. Selalu punya cerita lucu membuat gelak tawa semua orang. Seorang yang memiliki prinsip dalam perjuangan serta tabah dalam perjuangan.


Tahun 1991 di Yogyakarta pemerintah Orde Baru ingin menggusur tempat budaya Seniman Yogyakarta Seni Sono. Sejak tahun 80-90 an Seni Sono menjadi tempat berkumpul para seniman karena letaknya strategis di titik nol Yogyakarta, dan selatan Gedung Agung Istana Presiden.

Karena letaknya strategis di titik nol tiap hari ada kegiatan berkesenian dan masyarakat langsung menikmati pertunjukan pentas theater, paduan suara dan Seniman melakukan pertunjukan secara gratis.

Tahun 1991 pemerintah Orde Baru menggusur Seni Sono untuk perluasan bangunan Istana Gedung Agung Yogyakarta. Saat itu melahirkan perlawanan 100 seniman Yogyakarta mulai dari koreografer sekaligus pelukis Bagong Kusdiarjo, MH Ainun Najib, Karkono Partokusumo, Sapto Raharjo, Sawung Jabo, dan Seniman muda yang tergabung dalam Dewan Seniman Muda Indonesia (DSMI) menjadi pengerak kemah budaya melawan penggusuran Seni Sono.

Raharjo Waluyo Jati sebagai mahasiswa fakultas Filsafat UGM masih semester empat saat itu. Dia terlibat dalam kemah budaya yang digerakkan oleh DSMI (Dewan Seniman Muda Indonesia). Sebagian anggota DSMI juga anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta, sebuah organisasi ekstra kampus seluruh universitas di Yogyakarta dimana Raharjo Waluyo Jati bergabung.

Dengan modal rambut gondrong dan sedikit baju lecek sudah sah bergabung dengan para seniman di Seni Sono. Jati pun berkumpul dan ikut kemah budaya di Seni Sono.

Suatu hari pak Bagong Kusdiarjo datang ke kemah budaya di Seni Sono dengan ramahnya Jati merangkul dan menyapa, “Piye Gong kabarmu sehat toh… “

Pak Bagong hanya tersenyum bilang “Yo sehat bung… “

Semua dari kita bengong, Jati kenal dengan seniman besar setingkat pak Bagong. “Opo yo kowe kenal karo pak Bagong.???”

“Loh piye toh mosok karo pak Bagong ra kenal…” tutur khas gaya Jati cengengesan. Itulah gaya Jati selalu cepat akrab dengan orang baru dan selalu hangat. Humornya selalu menghangatkan seluruh kawan.

Putaran waktu bergulir demikian cepat rezim Orde Baru semakin represif kebijakan pembangunan berdampak pada penggusuran di Kedung Ombo, Penggusuran Petani di Lomanis Cilacap. Jati mulai sering meninggalkan kampus bergabung dengan kawan-kawan lain dalam pengorganisasian massa di beberapa konflik tanah seperti di Cilacap dan Blanguan Jawa Timur. Bacaan di kampus, interaksi dengan masyarakat mematangkan cakrawala berfikir tentang situasi nasional jaman Orde Baru.

Puncak dari keputusan bersama melihat situasi nasional perlu wadah lebih besar organisasi ekstra kampus maka lahirlah Persatuan Rakyat Demokratik yang pada akhirnya menjadi Partai Rakyat Demokratik. Jati mulai aktif di pimpinan puncak PRD.

Pemerintah Orba makin represif ingin memisahkan organisasi yang dianggap radikal agar tidak meraliansi dengan Rakyat dan kekuatan pro demokrasi lainnya. Karena pemerintah sadar jika kekuatan radikal mahasiswa, kekuatan rakyat dan elemen pro demokrasi bersatu akan melahirkan gerakan Insurection ujungnya bisa menumbangkan pemerintah Orde Baru.

Maka langkah pemerintah memisahkan tiga pilar kekuatan yakni mahasiswa radikal, kekuatan pro demokrasi dan rakyat. Kepanikan Orba makin kental ketika mulai membentuk pemisahan tiga kekuatan ini dengan cara menculik para aktivis PRD. Faisol Resa, Aan Rusdianto, Raharjo Waluyo Jati, Nezar Patria, Mugiyanto, Andi Arif. Sementara aktivis PRD lainnya seperti Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat dan Wiji Tukul belum kembali.

Jati, Faisol Reza, Aan, Mugiyanto, Andi Arief dan Nezar Patria diculik oleh tim Mawar yakni tentara elit Kopassus. Mereka semua disiksa mulai dari tamparan, pemukulan, disetrum dan penyiksaan lainnya.

Khusus Jati disiksa di atas balok es. Bisa dibayangkan orang lucu seperti Jati harus disiksa dipukul, disetrum, dipaksa tidur tengkurap di atas balok es. Penyiksaan diluar kemanusiaan dilakukan hanya untuk mendapat keterangan dari para korban. Aparat keamanan sudah bertindak diluar batasan kemanusiaan.

Aksi penculikan pada aktivis PRD dilakukan pasca penyerbuan kantor PDIP tanggal 27 Juli 1996. Partai Rakyat Demokratik menjadi sasaran empuk penguasa menghantam partai yang baru berdiri dengan tuntutan terbuka tentang demokratisasi dan diakhiri pemerintahan otoriter.

Tuntutan PRD berbuah pada kehidupan reformasi 98 yakni, diakhiri nya Dwi Fungsi ABRI, Multi Partai, Referendum Timor Leste, Pencabutan 5 paket UU Politik tahun 1985 yang memasung hak berpolitik dan berorganisasi rakyat, Membuat platform bersama dalam pemantauan pemilu agar terjadi pemilihan umum yang adil. Sembilan puluh persen tuntutan PRD tertuang dalam Manifesto 22 Juli 1996 terpenuhi pada masa Reformasi.

Darah dan air mata serta gemertak gigi menahan siksaan kawan kawan PRD dan pejuang pro demokrasi lainnya menjadi rabuk tumbuh suburnya gelombang tuntutan demokrasi berujung pada Reformasi dan turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan pada tanggal 21 Mei 1998.

Faisol Reza orang yang ditangkap bersama Jati tidak mampu menahan air mata dihadapan peti mati Jati. Mengingat mereka berdua diciduk oleh tim Mawar ketika mau cari makan keluar dari kantor YLBHI Jalan Diponegoro Jakarta.

Reza dan seluruh kawan kawan eks PRD sangat terpukul kehilangan teman perjuangan yang diakui selalu menghibur. Reza mengatakan satu minggu sebelum dilepas saya tanya, “Jat kamu kalau dilepas apa yang kamu lakukan senagai simb kebebasan? “.

Reza kaget dengan jawaban Jati. “Aku mau beli susu coklat sachet”. Rupanya sejak kecil Jati selalu ingin minum susu coklat sachet tapi tidak pernah terlaksana. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum getir. Itulah Jati selalu lucu. Kata Reza.

Hidup seperti roda pedati berputar dan terus bergerak. Para aktivis PRD ada yang menjadi pekerja partai, ada yang menjadi jurnalis, ada yang menjadi penulis dan ada pula yang bekerja profesional. Rahardjo Waluyo Jati aktif di radio Voice of Human Rights lalu di beberapa lembaga Berdikari.

Jati sejak aktif di Jaringan Kerja Budaya Rakyat bersama Wiji Thukul dan seniman PRD lainnya. Pasca Reformasi Jati pun lebih sering nongkrong di Kedai Hutan Kayu kumpulnya para seniman seperti Gunawan Mohamad dan awak media radio KBR 68H.
Suatu sore ngumpul Heru Hendratmoko dan lainnya termasuk Jati yang menikmati kopi serta rokok kesayangannya.

Tidak ada bahasan serius antara Jati dan Heru Hendratmoko hanya berisi kelakar hingga perut sakit tidak berhenti ketawa.

Suatu saat ada anak kecil pakai topi dan baju cheongsam, merayakan Imlek, hari raya tahun baru China. Rambut motif Fu Naga, spontan Jati langsung nyanyi, “Ting… Ting…Ting…. O hei O Siu man Chung long… Hu Ha…. “ Mereka berdua cekakakan mengingat filmnya Jet Lie memerankan Wong Fei-hung…

Itulah Jati orang yang selalu memiliki humor tinggi. Jika Jati sedikit mengenal lagu Wong Fei-hung tentu akan meneruskan lagunya hingga habis.

Dalam terjemahan tulisan Naam Yi Dong Yi sepenggal yang dinyanyikan Jati bisa diterjemahkan bebas seperti ini :

Menantang sepuluh ribu lapis gelombang
Semangat membara laksana cahaya merah matahari
Keberanian sesolid besi tertempa
Karakter sekuat baja tak kenal kompromi
Pikiran seluas seratus ribu kaki
Visinya sejauh sepuluh ribu mil

Bertekad bulat eksekusi rencana
Jadi penuang yang baik
Agar menjadi pribadi mulia

Setiap hari kau harus pompa dirimu
Semangat pejuang itu
Bersinar lebih terang dari matahari

Laut dan langit telah mengerahkan energinya untukku
Kini biarkan aku berjuang tempuh takdirku
Meraih cita cita

Lihatlah debur ombak biru, tinggi, nan perkasa
Tegakkan dagu, busungkan dada, jadilah pilar peradaban Jadilah Pejuang Hebat

Ambisiku membakar seratus semangat
Bersinar laksana ribuan bias cahaya
Untuk menjadi pribadi mulia

Semangat kegigihan dan keberanian
Bersinar lebih terang dari matahari…. Hu ha…

Selamat jalan kawan Jati, tidak ada waktu istirahat buat para pejuang selain di liang lahat. Tugas muliamu telah selesai. Damailah selalu dirimu.

*Tulisan ini dterima Bergelora.com dari Nursjahbani Katjasungkana aktivis HAM

** Penulis Eddy Suprapto, jurnalis dan budayawan

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru