PONTIANAK- Penyidik Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, telah menggarap praktik korupsi Rp17,539 miliar pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura (FKIK Untan), Pontianak, Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBN-P) 2013.
Pemeriksaan, didasarkan tiga laporan masyarakat tanggal 10 Agustus 2015 kepada Kapolda Kalbar Brigjen Pol Arief Sulistyanto.
Direktur Reserse Umum Polisi Daerah Kalimantan Barat, 28 Agustus 2015, mengirim surat kepada Rektor Universitas Tanjungpura, Thamrin Usman, untuk melakukan pemeriksaan terhadap 10 orang karyawan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Biro Perencanaan dan FKIK Untan Pontianak.
Disebutkan terhadap 10 orang dimaksud, diperiksa terhitung tanggal 31 Agustus – 14 Seprember 2015. Sejumlah pihak yang diperiksa polisi, terkait dengan mekanisme pengadaan Alkes APBN-2013 di FKIK Untan yang berpotensi merugikan keuangan negara cukup besar.
Kabid Humas Polda Kalbar Ajun Komisaris Besar Polisi Arianto, Senin (14/9), membenarkan dilakukan pemeriksaan, tapi belum diketahui perkembangan lebih lanjut, karena pemeriksaan terakhir terhadap 10 orang berakhir Senin (14/9).
Rektor Universitas Tanjungpura, Thamrin Usman, belum berhasil dikonfirmasi, karena tidak berada di tempat.
“Pengadaan peralatan Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura (RSP FKIK Untan), Pontianak, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 senilai Rp 17,539 miliar dengan tingkat kerugian negara Rp 7,015 miliar,” demikian Kabid Humas Polda Kalbar Ajun Komisaris Besar Polisi Arianto, kepada Bergelora.com di Pontianak, Selasa (15/9)
Pelaksana PT Annisa Farma Dewi, Jalan Nirbaya, Gang Mentari 21, Pontianak. Kontrak Nomor 1818/UN22.13/LK/2013, tanggal 4 Desember 2013. Waktu pengerjaan 28 hari, 4 – 31 Desember 2014. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), M Nasir, menerima dan menyetujui Ya’ Irwan Syahrial, Direktur Utama PT Anissa Farma Dewi.
Penyebab negara dirugikan Rp 7,015 miliar, lantaran menggabungkan barang dengan sub bidang berbeda, antara lain pengadan alat kesehatan, pengadaan computer, pengadaan mobil ambulance, pengadaan pelaralatan elektronik yang seharusnya masing-masing mempunyai sub bidangnya.
Pelanggaran lain, perbedaan harga pasar dan harga kontrak selisihnya cukup jauh merugikan keuangan negara. Di antaranya Ambulance Trauma Toyota HIACE yang harga mobil sesuai e-katalog dikeluarkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dengan harga Jakarta Rp 398,960 juta per OTR (on The Road on The Road Price) plat merah Jakarta.
Mark-Up Harga
Jika ditambah menjadi ambulance dianggap penambahan Rp 100 juta, ditambah ongkos kirim ke Pontianak Rp 10 juta, maka terjadi korupsi Rp 199,040 juta. Mesin Fotocopy Canon IR-2520 dikontrak Rp 34,011 juta, sementara harga pasar Rp 21 juta, maka terjadi korupsi Rp 13 juta.
Ladtop Sony Vaio Duo i3 SVD 13217PGB dikontrak Rp 42 juta, sedangkan harga pasar Rp 24 juta, maka terjadi korupsi Rp 17 juta. Tablet Lenovo ThinkPad Helix – 5JA dikontrak Rp 39,500 juta, sedangkan harga pasar Rp 24 juta, maka terjadi korupsi Rp 15,500 juta. Di sini, semua item harganya melebihi terlalu jauh harga pasar.
Proses pengadaan melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), dimana pengumuman mensyaratkan perusahaan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bidang pengadaan peralatan kesehatan dan peralatan laboratberlakurium yang masih berlaku dan memiliki Surat Izin Penyalur Alat Kesehatan (SIPAK/SUBPAK) yang masih berlaku.
Artinya, paket yang diumumkan merupakan alat kesehatan, sementara izin dari peralatan dimaksud tidak hanya alat kesehatan, tetapi juga ada pengadaan mobil, pengadaan ladtop, pengadaan computer.
Sementara dalam LPSE untuk pembelian alat kesehatan dan pembelian mobil ambulance sudah disediakan ruang yang namanya e-purchasing, dimana daftar harga mobil dan alat kesehatan sudah ada dalam katalog yang harganya di bawah harga pasar.
Keterlambatan penyerahan barang juga merupakan kerugian negara yang seharusnya setiap keterlambatan dikenakan denda 1 per seribu dari nilai setiap harinya. Sementara berdasarkan bukti serahterima barang, Ambulan Trauma baru diserahkan tanggal 7 Mei 2014 (terlambat 4 bulan lebih), tetapi tidak dikenakan denda.
Perbedaan spesifikasi Mobil Ambulance dari kontrak adalah Toyota HIACE tetapi yang diberikan Toyota Dyna type paling tinggi Rp 282,650 juta (harga pasar, bukan harga pemerintah). Di sini kerugian negara keseluruhan dengan sampel item dimaksud sekitar 40% atau Rp 7,015 miliar.
Dari aspek pengendalian yang urgensinya terkait dengan kualitas output, melalui mekanisme Berita Acara serahterima barang oleh panitia penerima hasil pekerjaan kurang teliti dalam memeriksa spefisikasi barang yang diterima.
Terdapat permasalahan dalam kegiatan di pengadaan barang, yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam membuat rencana umum pengadaan tidak memperhatikan kaidah sub bidang pekerjaan.
Sehingga mengambil keputusan praktis dalam membuat paket pengadaan barang di Rencana Umum Pengadaan (RUP) berakibat fatal terhadap waktu menyediakan barang yang hanya dalam waktu 28 hari, 4 – 31 Desember 2014, dengan barang yang harus diadakah 141 jenis barang.
Malah barang 141 item di antaranya mesti didatangkan dari luar negeri, seperti Jerman, Cina, Taiwan, Argentina, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Singapura, Hungaria, Denmark.
Patut diduga barang belum diserahkan, tetapi pembayaran telah dilakukan, sehingga fungsi pengawasan pekerjaan tidak diperhatikan secara substansi.
Aktifitas pengendalian lainnya, perlu dilakukan pengujian akurasi hasil pengadaan barang, seperti kapan waktu serahterima barang secara keseluruhan, harga dikontrak dengan harga pasar, khusus alat kesehatan apakah sudah sesuai dengan daftar alat kesehatan yang ada di e-katalog LKPP. (Jimmy Kiroyan)