JAKARTA- Ada tiga rekomendasi hal yang sangat penting disampaikan Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) sebelum memastikan obat terhadap kasus-kasus gagal ginjal akut. Salah satunya adalah pentingnya keterlibatan pihak Polri untuk melakukan otopsi terhadap korban-korban yang sudah meninggal dengan dugaan gagal ginjal akut.
“Penting sekali melakukan pemeriksaan penyebab kematian yang lebih teliti lagi terhadap korban-korban tersebut. Penting ada otopsi oleh pihak kepolisian,” tegas Sekretaris Jenderal PDSI, Dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp. DLP., S.H., M.H. Kes kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (25/10).
Ia mengingatkan pentingnya otopsi untuk mendukung diagnosis terhadap pasien gagal ginjal akut yang masih bertahan sampai saat ini.
“Telusuri dengan jelas penyebabnya baru bisa mengobati. Kalau penyebabnya tidak pasti, mana mungkin bisa mengobati dengan tepat,” tegasnya.
Untuk pasien yang masih bertahan hidup Erfen juga menegaskan pentingnya diagnosis yang berbasiskan laboratorium secara tepat.
“Kalau perlu pendanaan khusus di luar skema BPJS. Jangan sampai misdiagnosis akibat paket tes BPJS yang terbatas,” tegasnya.
Ia juga menegaskan, jika terbukti kebenaran ada cemaran pada obat, maka Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah yang paling bertanggung jawab.
“Karena selama ini ijin edar dam registrasi dikeluarkan oleh BPOM, maka mereka yang paling bertanggung jawab bersama produsen obat. Maka penegakan hukum perlu dilakukan pada kedua pihak tersebut oleh pihak kepolisian,” tegasnya.
Penyebab Gagal Ginjal Akut
Sebelumnya, Dr. Erfen Gustiawan mengatakan di Indonesia, penggunaan etilen glikol pada obat sirup anak-anak itu sudah tidak ada, yang ada itu adalah polietilen glikol yang sebenarnya lebih ringan daripada etilen glikol.
“Jadi sejumlah senior juga mengatakan apa bener nih gara-gara obat gitu,” Dr. Erfen Gustiawan Suwangto beberapa waktu lalu.
Apalagi lanjut Dr. Erfen Gustiawan Suwangto, dosis toksik dari etilen glikol untuk anak-anak itu sebesar 1,4 ml/kg, dan kalau udah mematikan itu dosis toksik lebih besar lagi yakni sampai 56 ml/kg.
“Jadi sebenarnya apakah memang anak-anak itu diberikan obat sebanyak itu? kan ini juga jadi misteri,” ungkapnya.
Ia mengingatkan, obat sirup itu selama ini lebih aman daripada obat puyer. Karena obat puyer itu lebih kotor apalagi kalau pasien lain juga memakai alat tumbuk yang sama, maka kadang sisa obat yang dari pasien sebelumnya itu masih ada di sisa alat tumbuk itu.
“Jadi sebenarnya obat sirup lebih aman,” tegasnya.
Tetapi, lanjut dia, obat sirup ini perlu pelarut yang termasuk etilen glikol. Namun begitu, tegas dia, penggunaan etilen glikol pun sudah dilarang oleh Kemkes dan itupun kalau pun ada derivatnya harus tidak melebihi ambang batas.
“Lalu, kalau memang terjadi semacam kebocoran, ketika kenapa dia bisa tiba-tiba melebihi ambang batas, itu tentu tanggung jawab BPOM,” pungkasnya. (Web Warouw)