JAKARTA – Raksasa teknologi Microsoft dan platform jejaring profesional LinkedIn merilis laporan tahunan Work Trend Index 2024, Selasa (11/6/2024).
Laporan berjudul “AI at work is here, Now comes the hard part” (AI di tempat kerja telah hadir, sekarang bagian sulitnya) ini membahas penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di dunia kerja.
Laporan ini didasarkan survei terhadap 31.000 orang di 31 negara termasuk Indonesia, tren ketenagakerjaan dan perekrutan di LinkedIn, serta pola produktivitas dari software Microsoft 365 (Word, Teams, Powerpoint, dll).
Menurut data Microsoft Indonesia, sebanyak 92 persen knowledge workers di Tanah Air sudah menggunakan AI generatif (generative AI, alias AI yang bisa menghasilkan teks, gambar, dll) di tempat kerja.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding global (75 persen) dan Asia Pasifik (83 persen).
“Ini membuktikan level kreativitas dan rasa ingin tahu yang dimiliki talenta-talenta Indonesia atau knowledge workers sangat tinggi sekali. Angka ini secara global paling tinggi, di seluruh dunia yang menjadi nomor satu adalah Indonesia,” kata President Direktur Microsoft, Dharma Simorangkir.
“Artinya ini menjadi peluang yang sangat besar bagi populasi kita yang produktif untuk menjadi lebih besar,” imbuhnya dalam acara media roundtable yang dihelat di Kantor Microsoft Indonesia, Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan, Selasa (11/6/2024).
Knowledge workers sendiri didefinisikan Dharma sebagai pekerja kantoran yang bertugas mengelola informasi (knowledge) setiap harinya, termasuk pekerja jarak jauh (work from home/remote).
Dharma melanjutkan bahwa kecepatan Indonesia dalam beradaptasi dan bertumbuh di era AI ini, menunjukkan bahwa kita berada di jalur yang tepat untuk merealisasikan peluang ekonomi digital Indonesia, serta menciptakan dampak positif bagi masyarakat luas.
Laporan Microsoft dan LinkedIn itu juga menemukan bahwa sebanyak 92 persen pemimpin di Indonesia percaya akan pentingnya adopsi AI, demi menjaga keunggulan kompetitif perusahaan. Angka ini lebih tinggi daripada global (79 persen) dan Asia Pasifik (84 persen).
Walaupun begitu, sekitar 48 persen pemimpin itu khawatir organisasi mereka belum memiliki rencana dan visi untuk menerapkan AI. Angka ini lebih rendah daripada angka global (60 persen) dan Asia Pasifik (61 persen).
Oleh karenanya, sebanyak 76 persen karyawan di Indonesia berinisiatif untuk membawa perangkat atau solusi AI mereka sendiri ke tempat kerja. Mereka secara mandiri berlangganan layanan AI, misalnya Microsoft Copilot atau ChatGPT, kemudian memakainya di tempat kerja. Karyawan tidak menunggu perusahaan untuk menyediakan fasilitas tersebut.
Menurut data, sebanyak 85 persen Gen Z (kelahiran tahun 1997 hingga 2012) membawa teknologi AI sendiri ke tempat kerja, diikuti milenial (kelahiran 1980 hingga 1995) dengan cakupan 78 persen, Gen X (kelahiran 1965 hingga 1980) dengan cakupan 76 persen, dan Boomers dengan cakupan 73 persen (kelahiran 1946 hingga 1964).
Yang menjadi catatan, AI yang dibawa dan digunakan mandiri (bring your own AI) berpotensi membawa risiko tertentu terhadap data perusahaan yang sensitif.
Jadi, pemimpin perusahaan bertugas untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan AI dalam skala besar di perusahaan, sambil menghasilkan pengembalian investasi (return on investment/ROI) yang maksimal.
Menurut Dharma Simorangkir, pemimpin juga mesti menyalurkan antusiasme penggunaan AI di Indonesia dengan tiga hal. Pertama, identifikasi masalah bisnis dan integrasikan AI ke dalam solusinya, dan kedua, ambil pendekatan top-down (pengambilan keputusan dari level tertinggi di perusahaan) dan bottom-up (kolaborasi di semua tingkat perusahaan).
Ketiga, pemimpin perusahaan di Tanah Air juga harus memprioritaskan pelatihan keterampilan AI bagi setiap individu di kantornya.
Meningkatkan Standar Dan Membuka Peluang Karier
Selain adanya ketertarikan karyawan mengadopsi AI meski tidak disediakan tempat kerja, laporan Microsoft dan LinkedIn menunjukkan bahwa karyawan merasa AI meningkatkan standar dan membuka peluang karier. Adapun sebanyak 69 persen pemimpin di Indonesia enggan merekrut seseorang tanpa keterampilan AI. Sebanyak 76 persen cenderung merekrut kandidat dengan pengalaman kerja yang lebih sedikit tetapi andal menggunakan AI, ketimbang kandidat berpengalaman tanpa kemampuan AI.
“Hal ini menekankan urgensi dan pentingnya para profesional untuk fokus dalam meningkatkan kemampuan AI melalui pelatihan,” ujar Rohit Kalsy selaku Indonesia Country Lead, LinkedIn l.
Kalau melihat data global, ada peningkatan sebesar 142 kali dalam keanggotaan LinkedIn yang menambahkan keterampilan AI ke profil mereka. Ada pula peningkatan sebesar 160 persen dalam karyawan non-teknis yang menggunakan kursus LinkedIn Learning (platform belajar online untuk berbagai keterampilan) demi mempelajari AI lebih dalam.
Lebih lanjut, penyebutan AI dalam unggahan peluang kerja di LinkedIn mendorong peningkatan lamaran kerja sebanyak 17 persen.
Munculnya Fenomena AI Power User
Temuan terakhir Microsoft dan LinkedIn berkaitan dengan pemetaan pengguna AI. Pengguna AI dibagi menjadi empat, yaitu skeptis yang jarang memakai AI, novice serta explorer yang sedikit lebih familier dan lebih sering menggunakan AI, dan power user yang memakainya secara ekstensif. Bagi power user, AI sudah menjadi bagian integral dari pekerjaan sehari-hari mereka. Sebanyak 93 persen power user diI ndonesia menggunakannya untuk memulai hari kerja mereka, dan 94 persen menggunakannya untuk mempersiapkan esok hari. Data ini lebih tinggi dibandingkan global yang masing-masing di angka 85 persen, dan Asia Pasifik di angka 88 persen. Kemudian, sebanyak 73 persen power user di Indonesia juga cenderung lebih tertarik untuk bereksperimen dengan AI, lebih tinggi dibandingkan global (68 persen) dan Asia Pasifik (51 persen). (Calvin G. Eben-Haezer)