JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Indonesia kalah dari Vietnam. Hal itu terjadi lantaran pengembangan EBT dalam negeri cenderung lambat dibanding Vietnam.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, perkembangan EBT di Vietnam tidak hanya lebih bersih, tetapi juga menarik minat industri. Padahal, ia menyebut Indonesia telah lebih dulu mengembangkan EBT ketimbang Vietnam.
“Banyak yang sudah bilang bahwa kalau kita tidak mendorong EBT, daya saing kita ini akan turun, dan kita lihat sekarang misalkan Vietnam. Vietnam yang memulai EBT-nya rasanya lebih belakang dari kita, sekarang mereka sudah lebih duluan dan industri juga banyak bergerak ke sana. Mungkin salah satunya karena di sana bisa menyediakan yang lebih bersih daripada kita,” kata Dadan dalam sambutannya di acara Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).
Meski begitu, Dadan optimistis pengembangan EBT di Indonesia dapat lebih maju dari Vietnam. Pasalnya, Indonesia memiliki modal yang besar untuk meningkatkan ketahanan energi melalui EBT.
Ia membandingkan ketahanan Indonesia dengan Jepang yang memiliki cadangan energi penyangga 120 hari.
Menurutnya, akselerasi yang dilakukan Jepang karena memiliki kemampuan dana.
“Jepang ketahanan energinya bagus, kenapa? Karena dia punya 120 hari cadangan penyangganya di sana. Itu kan masalah duit aja, kalau kita punya duit bisa, tapi kita kan dikaruniai yang lain, kita punya nih modalnya ada di sini, sehingga kita maksimalkan apa yang ada di sini, kita kembangkan sehingga ketahanan energi kita meningkat,” jelasnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi menambahkan, saat ini pemerintah menyusun struktur organisasi untuk direktorat baru di Kementerian ESDM, khususnya sektor ketenagalistrikan.
“Jadi kami juga sedang melihat di Dirjen listrik apakah secara struktur itu dimungkinkan karena di sana baru ada 3 direktur, kita lagi mengkaji 1 direktorat baru untuk men-support upaya-upaya percepatan transisi energi khususnya di kelistrikan,” tutupnya.
EBT RI Disebut Mandek
Dadan Kusdiana juga mengatakan, keraguan publik terhadap pengembangan EBT dalam negeri akibat dari regulasi yang terus diubah. Ia pun tak menyangkal hal tersebut.
“Kan ada yang berkomentar, EBT ini memang tidak maju-maju. Kenapa? Karena regulasinya berubah-ubah. Yang menurut saya selintas benar gitu ya, komentar seperti itu. Tidak ada yang salah sih, dua-duanya benar,” kata Dadan dalam sambutannya di acara Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).
Dadan mengatakan perubahan regulasi ini dilakukan untuk menyempurnakan pengembangan EBT dalam negeri, salah satunya melalui penerbitan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik.
“Jadi kita merubah caranya, karena kita mengharapkan dan kita berupaya bahwa hasilnya akan lebih baik. Bahwa nantinya hasilnya lebih jelek, ya kan ada manajemen risiko,” jelasnya.
Dadan menambahkan, perubahan regulasi dilakukan setelah melakukan evaluasi terhadap aturan yang dinilai kurang kompatibel.
“Kalau nggak berubah, mungkin kita akan semakin jelek. Jadi keputusan untuk merubahnya itu dilakukan setelah kita me-review bahwa dengan yang ini (aturan lama) kita most likely akan stagnan. Ya jadi kira-kira itu yang dilakukan oleh kami di Kementerian ESDM,” tutupnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025 diterbitkan sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto tentang hilirisasi dan ketahanan energi.
“Jadi kita tetap on the track untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060,” jelasnya.
Eniya menambahkan, Permen Ini menjadi solusi atas ketidakpastian skema pembayaran, mekanisme force majeure, hingga Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).
“Kta melihat selain ketidakpastian dalam skema pembayaran, mekanisme force majeure juga, termasuk salah satunya dan kadang-kadang ada pembagian risiko dalam PJBL yang menyebabkan ketidakstabilan finansial bagi pengembang,” tutupnya. (Web Warouw)