JAKARTA – Presiden Joe Biden pada Selasa (2/4/2024) lalu berbicara dengan Presiden China Xi Jinping lewat telepon. Ternyata, salah satu topik panas yang diangkat Biden adalah soal TikTok.
Menurut laporan Reuters, dalam percakapan dengan Xi Jinping, Biden menyatakan bahwa Amerika Serikat punya curiga soal kepemilikan TikTok.
Pembicaraan soal TikTok antara Biden dan Xi Jinping bisa jadi merupakan kelanjutan dari langkah para wakil rakyat AS di House of Representative yang mengesahkan RUU soal aplikasi video pendek tersebut.
RUU berisi paksaan kepada ByteDance untuk melepas kepemilikan TikTok ke entitas non-China. ByteDance diberikan waktu 6 bulan untuk menjual bisnis TikTok di AS. Jika perintah kongres tidak dipenuhi, aplikasi TikTok akan diblokir di AS.
Para wakil rakyat beralasan pemaksaan penjualan TikTok harus diambil demi keamanan nasional. RUU ini harus disetujui juga oleh para senator AS sebelum ditandatangani Biden menjadi UU.
Harga TikTok Ribuan Triliun Rupiah
Menurut perkiraan seorang analis keuangan, TikTok mungkin akan terjual dengan harga melebihi US$ 100 miliar (Rp 1.574 triliun).
Angka tersebut termasuk rendah, sebab TikTok menghasilkan penjualan sebesar US$ 16 miliar (Rp 251 triliun) di AS tahun lalu. Financial Times melaporkan, angka pendapatan itu seharusnya bisa memberi nilai bagi perusahaan hingga $150 miliar.
Harga tersebut hanya akan dapat dipenuhi oleh sedikit pembeli dan menetapkan tonggak sejarah baru bagi akuisisi perusahaan teknologi raksasa. Namun pembelian oleh raksasa teknologi saingannya mungkin akan menghadapi pengawasan antimonopoli yang ketat di Amerika Serikat dan negara-negara di seluruh dunia yang akan memperlambat proses tersebut, atau bahkan dapat menghentikannya.
“Daftar penawar di sini sangat sedikit,” kata David Locala mantan kepala merger dan akuisisi teknologi global di Citi, bank investasi multinasional Amerika.
“Regulator AS mungkin harus mengambil tindakan, apakah mereka ingin kepemilikan TikTok di AS, atau apakah mereka ingin satu atau lebih perusahaan teknologi besar menjadi lebih besar?,” jelasnya lebih lanjut.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dengan harga pembelian sebesar US$ 100 miliar, TikTok akan menjadi salah satu kesepakatan merger dan akuisisi terbesar dalam sejarah dengan kompleksitas dan keterbatasan waktu.
Sebagai contoh, merger AOL dengan Time Warner pada tahun 2000 senilai US$ 182 miliar (Rp 2.864 triliun) saja membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk diselesaikan.
Selain itu, pembelian Twitter oleh Elon Musk senilai US$ 44 miliar (Rp 692 triliun) pada tahun 2022 membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk diselesaikan – dan penjualan tersebut didukung penuh oleh dewan komisaris Twitter.
Namun demikian, melihat potensi dari TikTok banyak pihak yang siap untuk mengakuisisi aplikasi populer itu.
Mantan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, mengatakan kepada CNBC Internasional pekan lalu bahwa dia sedang mengumpulkan sekelompok investor yang mau untuk membeli TikTok.
Sementara Bobby Kotick, mantan kepala raksasa video game Activision Blizzard, dan Kevin O’Leary, investor Kanada dari acara TV “Shark Tank,” keduanya telah menyatakan minatnya pada kesepakatan TikTok. Namun mereka mungkin tidak mempunyai uang untuk melakukan pengambilalihan secara serius, dan mengumpulkan dana mereka sebagai bagian dari konsorsium investasi akan menimbulkan masalah baru lagi.
“Dengan konsorsium, Anda tidak akan pernah tahu apakah seseorang benar-benar terlibat atau tidak sampai hal tersebut berakhir,” kata Locala. “Semakin banyak pihak yang Anda perkenalkan, semakin sulit untuk mencapai kemajuan.” terangnya. (Enrico N. Abdielli)