Oleh: Dr. Kurtubi *
PERTAMINA kini seolah menjadi sasaran empuk untuk berburu rebutan jabatan komisaris oleh mereka yang merasa berjasa memenangkan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Terasa kurang elok, karena Prabowo Subianto sendiri belum dilantik menjadi presiden definitif memegang Pucuk Pemerintahan di negara kita. Saat ini posisi Prabowo Subianto masih menjabat sebagai Menhan aktif tidak terkait langsung dengan masalah Pertamina dan migas nasional
Justru masalah yang dihadapi oleh sektor industri migas nasional dan Pertamina selama dua dekade adalah anjloknya nya produksi migas nasional yang disebabkan oleh kehadiran Undang-undang Migas No.22/2001 yang sangat buruk. Karena tidak disukai oleh investor dimana berdasarkan Pasal 31 UU Migas ini, investor diharuskan membayar pajak semasa eksplorasi sebelum berproduksi, proses perizinan dan investasi migas yang ribet birokratik.
Selain itu, 17 Pasalnya dari UU Migas ini sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga UU Migas No 22/2001 ini telah menyebabkan kegiatan dan investasi Eksplorasi anjlok diikuti oleh produksi yang terus turun selama dua dekade.
Indonesia yang sebelum ada Undang-undang migas ini, adalah negara pengekspor minyak, anggota OPEC sekaligus negara pengekspor LNG terbesar di dunia.
Penerimaan APBN dan penerimaan devisa didominasi oleh sektor Migas selama bertahun-tahun. Pertumbuhan ekonomi pernah mencapai level tertinggi 9.8% disaat produksi migas dan harga minyak dunia tinggi.
Namun setelah berlakunya UU Migas No. 22/2001 yang diendorce oleh IMF ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, investasi dan kegiatan eksplorasi turun anjlok, bertahun-tahun tidak ada tambahan cadangan baru. Kemudian diikuti oleh produksi yang terus turun selama dua dekade hingga saat ini produksi minyak terendah dalam 50 tahun, hanya sekitar 600 ribu bph.
Sehingga sekarang Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor migas terbesar didunia, dengan impor LPG mencapai lebih dari 80% kebutuhan LPG dalam negeri. Sehingga sejak 1 Juni 2024 pelanggan rakyat miskin yang membeli LPG 3 kg yang jumlahnya lebih dari 40 juta pelanggan harus menunjukkan KTP.
Namun UU Migas yang sudah terbukti sangat merugikan negara dan menyusahkan rakyat, hingga hari ini masih tetap berlaku. Presiden Jokowi belum bersedia untuk menggunakan wewenangnya untuk mencabut UU Migas No. 22/2001 dengan mengeluarkan PERPPU. Meskipun DPR-RI sudah tiga periode gagal menghasilkan UU Migas yang baru sebagai pengganti dari UU Migas No 22/2001.
Kita sarankan sebaiknya Presiden Jokowi diakhir-akhir masa jabatannya, mengeluarkan kebijakan pengelolaan migas yang Baru dan monumental dengan menciptakan kepastian hukum industri migas nasional
Kembalikan pengelolaanigas sesuai dengan Konstitusi lasal 33 UUD 1945 dengan cara yang konstitusional, efisien dan rational dengan mencabut UU Migas No 22/2001 dengan mengeluarkan PERPPU.
Sebagaimana juga pernah dilakukan oleh Pemerintah di era sistem parlementer, saat PM Ir. Djuanda mencabut pemberlakuan Undang-undang Pertambangan Zaman Belanda dengan mengeluarkan PERPPU, kemudian PERPPU diterima oleh DPR menjadi UU No.44/Prp/1960. Undang-undang inilah yang menjadi dasar terbitnya UU NO 8/1971 yang melahirkan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).
Dengan dicabutnya UU Migas No 22/2001, otomatis akan menghidupkan kembali UU No.44/Prp/1960 dan UU No..8/1971 yang sesuai dengan Konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan telah berhasil membawa industri migas nasional menjadi sumber utama Penerimaan APBN dan Devisa hasil ekspor.
Kalaupun Presiden Jokowi tidak bersedia mengeluarkan PERPPU mencabut UU Migas No 22/2001 hingga akhir masa jabatan. Kita sarankan kepada Komisaris-komisarisPertamina yang baru agar mendukung Presiden RI ke 8 untuk mengeluarkan PERPPU mencabut UU Migas No.22/2001.
Mengapa? Sebab dengan sistem tata kelola migas yang konstitusional dan simpel, investasi dan kegiatan eksplorasi yang merupakan ujung tombak industri migas akan kembali bergairah. Mengingat potensi cadangan migas masih sangat besar yang terjebak di lebih 130 cekungan
(sedimentary basin).
Selain berpeluang menarik investor yang telah menguasai teknologi ekplorasi baru yang sudah proven. Telah berhasil menaikkan produksi Migas Amerika dengan sangat significant.
Sekarang Amerika telah berhasil menjadi negara produsen minyak mentah dan sekaligus menjadi negara produsen LNG terbesar di dunia. Berkat teknologi baru yabg sudah proven ini.
Di masa transisi energi, migas masih kita butuhkan, sehingga upaya untuk menaikkan produksi migas sangatlah penting bagi perekonomian nasional.
Pada saatnya, industri migas juga bisa dikonversi menjadi industri petrokimia secara efisien yang juga dibutuhkan oleh masyarakat dan ekonomi dunia dalam jangka panjang.
Jakarta, 13 Juni 202
—
*Penulis Dr. Kurtubi. Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika