JAKARTA- Dalam rangka 70 tahun Hari Pahlawan 10 November 2015, Sabam Sirait, tokoh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang telah berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mengusulkan agar Amir Sjarifuddin dijadikan Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya dalam pergerakan perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam melawan fascisme Jepang di Indonesia. Hal ini disampaikan Sabam Sirait di Jakarta, Selasa (10/11) seusai peringatan 70 tahun pohon terang (Parkindo) melayani Indonesia yang diadakan oleh yayasan Komunikasi Indonesia.
“Sudah waktunya Bung Amir Sjarifuddin kita jadikan tokoh nasional dari kalangan Kristen yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dirinya juga pernah mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada M. Natzir dari kalangan muslim yang pernah aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia 1945.
“Waktu M. Natzir tokoh Masyumi, saya juga yang mempelopori agar pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional. Jadi saya harap teman-teman muslim mau ikut mendukung saya mengusulkan agar Amir Sjarifuddin menjadi Pahlawan Nasional,” ujarnya.
Ia menjelaskan, walaupun Natzir juga terlibat dalam Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-red), namun jasa-jasanya dalam berjuang melawan penjajah sampai kemerdekaan 17 Agustus 1945 harus dihargai oleh pemerintah.
“Demikian juga terhadap Amir Sjarifuddin. Kita harus hargai perjuangannya sampai ditangkap dan dipenjara oleh Jepang dan hampir dihukum mati,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa orang lain boleh menuduhnya komunis dan terlibat di dalam peristiwa 1948 namun bagaimanapun, Amir Sjarifuddin bagi orang Kristen adalah pejuang revolusioner.
“Aku tegaskan, Amir adalah orang Kristen. Aku pernah tanya pada semua pemimpin Parkindo, apakah Amir seorang komunis. Mereka jawab Amir Sjarifuddin adalah pengikut Kristus. Orang Kristen. Soal 1948 kan tidak sempat diperiksa keterlibatannya sudah dibunuh duluan,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama tokoh masyarakat dari Minahasa, Sulawesi Utara, Dr. Bert Supit menegaskan bahwa seorang peneliti Belanda Van Klinken pernah menuliskan bahwa ada lima orang tokoh Kristen yang menjadi pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dilupakan oleh sejarah Indonesia. Salah satunya adalah Amir Sjarifuddin.
“Orang Belanda saja mengakui, perjuangan Amir Sjarifuddin dalam memerdekakan Indonesia. Masakan kita orang Indonesia tidak mau mengakuinya,” tegasnya kepada Bergelora.com
Ketua Umum Perkumpulan Relawan Kawasan Timur Indonesia (PRKTI), Jopie Lasut dalam kesempatan itu menceritakan, Amir Sjarifuddin sebelum ditembak mati, membuka alkitab dan berdoa ‘Bapa Kami Di Sorga’.
“Sebelumnya, Amir menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ dan lagu ‘Internasionale’. Dalam ‘Doa Bapa Kami’nya Amir di tembak mati,” ujar Jopie Lasut kepada Bergelora.com.
Untuk itu dibentuk ‘Panitia Penegaskan Amir Sjarifuddin Pahlawan Nasional’ yang dipimpin oleh Sabam Sirait sebagai Ketua, Dr Bert Supit dan Jopie Lasut sebagai Wakil Ketua. Panitia ini akan mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung yang akan diserahkan pada Presiden Joko Widodo untuk diumumkan bahwa Amir Sjarifuddin sebagai ‘Pahlawan Nasional’ dari kalangan Kristen.
Sejarah Amir
Amir Sjarifuddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 dan meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun adalah seorang politikus sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung. Tanpa sepengetahuan Soekarno, Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati bersama 7 orang lainnya dan dikubur di Ngalian, Solo
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Perjuangan Amir
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menggalang aliansi untuk menghancurkan Fasisme. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Ditangkap Jepang
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fascis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Partindo (Partai Indonesia) Surabaya ini.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir menyebutkan, ” Amir mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut.” Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Amir Sjarifuddin pernah menjabat Menteri Pertahanan pada Kabinet Presidensial, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, Kabinet Sjahrir III. Kemudian menjabat sebagai Perdana Menteri RI daro 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948, dengan membentuk Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II (Web Warouw)