JAKARTA- Kerajinan tangan anyaman rotan bidai khas Suku Dayak Bidayuh yang ada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat terancam diklaim Malaysia. Seringnya, bidai yang dibeli dari pengrajin di Jagoi Babang, dicap oleh Malaysia untuk kemudian dijual lagi.
“Selama ini bidai ini kan masuk ke Malaysia, cap Malaysia, masuk ke Prancis dibilang dari Serawak,” ujar Bupati Bengkayang Sebastianus Darwis belum lama ini.
“Itu yang kita ajukan untuk HAKI ke Kemenkumham, dinas kita sudah menyiapkan data. Kita juga sudah menyampaikan ke provinsi bidai ini akan diambil seperti reog Ponorogo kan sudah diakui. Ini kerja keras Pemda Bengkayang maupun Pemprov Kalbar, termasuk kementerian terkait,” imbuhnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta di laporkan, klaim Malaysia bidai milik suku dayak di Jagoi Babang ini memang sudah menjadi isu lama, termasuk bagi para pengrajinnya. Sebab kebanyakan mereka menjual bidai ke pengepul dari Malaysia maupun menjual langsung ke Pasar Serikin di Malaysia.
Hal itu karena faktor jarak ke Pasar Serikin di Serawak, negara bagian Malaysia, yang lebih dekat dengan Jagoi Babang dibanding dengan pasar di pusat Kabupaten Bengkayang, apalagi di pusat Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Meskipun begitu, pengrajin mengakui bahwa bidai memang hanya dibuat oleh masyarakat Jagoi Babang dan sekitarnya yang berada di tapal batas Indonesia-Malaysia tersebut.
“Di Malaysia nggak ada yang bikin, mereka beli jadi dari sini,” ujar Roslinda, pemilik Sentra Industri Kecil Bidai Hasta Karya.
“Udah diakui sama (Malaysia), (isu) udah lama, mungkin tahu, itu udah lama. (Sama mereka) dijual lagi ke Jakarta, ke Bali. Jual ke Bali, (dibilangnya) jadi produk Malaysia, udah lama itu,” imbuhnya.
Pengrajin mengakui bahwa bidai memang hanya dibuat oleh masyarakat Jagoi Babang dan sekitarnya serta bukan dari Malaysia
Roslinda menjelaskan sebelum pos lintas batas (PLB) ditutup akibat kebijakan pembatasan karena COVID-19 sekaligus sedang pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Jagoi Babang, Sentra Industri Kecil Bidai Hasta Karya lebih sering menjual bidainya ke pengepul dari Malaysia. Namun, kini ia lebih memilih menjualnya ke pasar domestik.
“Sementara sekarang nih (PLB-nya kan ke) Malaysia ditutup, cuma sekitar sini. Bengkayang, Pontianak, Sintang, Kapuas, Jakarta pernah. Dijual online (juga) lewat WA, dari teman ke teman. Karena permintaan di daerah kita masih banyak, jadi kita di sini dulu,” ujar Roslinda.
Lebih lanjut Roslinda menjelaskan dalam mengembangkan usaha bidainya, ia memanfaatkan pinjaman dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BRI. Ia pernah dua kali memanfaatkan KUR Bank BRI sebagai modal dalam mengembangkan usahanya.
“Ini kan modal besar beli-beli rotan, banyak permintaan, jadi harus kita nyiapkan barang juga kan modalnya. Jadi minjam ke BRI untuk nambah modal, minjam Rp 50 juta,” ujarnya.
“Sebelumnya udah 2 kali (ngambil KUR Bank BRI), (pertama) Rp 20 juta itu, (kedua) Rp 40 juta. Jadi 3 kali total minjam KUR, buat modal bikin bidai semua,” imbuhnya.
Lebih Laku di Malaysia
Bidai merupakan anyaman rotan yang digunakan sebagai alas tikar. Kerajinan tangan ini sudah menjadi penghasilan dan sentra industri bagi masyarakat Desa Jagoi Babang, (ini wilayahnya lengkapin) Kalimantan Barat dan sekitarnya. Menariknya, bidai ternyata lebih laku dijual di Malaysia.
Salah satu penyebabnya ialah karena faktor jarak ke Pasar Serikin di Serawak, negara bagian Malaysia, yang lebih dekat dengan Jagoi Babang dibanding dengan pasar di pusat Kabupaten Bengkayang, apalagi di pusat Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Domisia, salah satu pengrajin bidai rumahan, bercerita sering menjual bidai yang dibuatnya kepada pengepul untuk kemudian dijual ke Pasar Serikin di Malaysia. Biasanya, pesanan akan semakin banyak saat memasuki akhir tahun di momen Natal dan Tahun Baru.
Ia menyebut memilih menjual bidai ke Malaysia karena permintaan pasar, lokasi yang lebih dekat dan lebih besar serta menguntungkan bagi dirinya.
“(Djiual) kadang ke penampungan, kadang orang datang besar, seringnya di penampungan. Kalau orang pesan (banyak), biasa bulan 12. Kalau bulan-bulan gini sepi. Karena orang banyak yang make (buat) Natalan bareng keluarga. Ya dikirim ke Serikin, Malaysia,” ujarnya belum lama ini.
Sebelum sakit, suami Domisia, Suradi sering membantu memasarkan bidai ke Pasar Serikin, terutama saat akhir pekan. Hanya berbekal motor dan kartu Pas Lintas Batas atau biasa disebut ‘paspor merah’, ia berangkat pagi lalu pulang lagi di sore hari. (Enrico N. Abdielli)