JAKARTA – Hasil survei yang diselenggarakan Populi Center pada 9-17 Oktober 2022 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merosot dibandingkan survei sebelumnya.
Peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar mengatakan, turunnya kepercayaan publik terhadap Polri tak lepas dari beragam kasus yang menerpa Korps Bhayangkara dalam beberapa waktu terakhir.
“Memang yang babak belur ini adalah Kepolisian, jadi dampak dari gonjang ganjing di kepolisian ini, misalnya tentang Tragedi Kanjuruhan, lalu kemudian tentang Ferdy Sambo atau Teddy Minahasa, itu juga berdampak menurunkan nilai dari kinerja kepolisian,” kata Usep dalam acara rilis survei, Rabu (26/10).
Dalam survei ini, Populi menemukan bahwa ada 58,5 persen yang memberi nilai 6-10 dalam skala 1-10 terhadap Polri, sedangkan 33,9 persen memberi nilai 1-5.
Angka ini turun dibandingkan survei pada Maret 2022 di mana ada 67 persen responden memberi nilai 6-10 dan Juli 2022 ketika 64,4 memberi nilai 6-10.
Secara rata-rata, institusi yang dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu mendapatkan nilai 6,06 dan menduduki peringkat ke-10 dari 13 lembaga yang disurvei.
Secara keseluruhan, hanya ada dua lembaga yang rata-rata nilai kepercayaannya di atas 7 yakni Tentara Nasional Indonesia (7,39 persen) dan kepresidenan (7,10).
Adapun tiga lembaga yang mendapat nilai terendah di bawah Polri adalah Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (6,07), Dewan Perwakilan Daerah (6,10), dan partai politik (5,92)
Survei ini dilakukan terhadap 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi se-Indonesia pada 9-17 Oktober 2022. Survei ini memiliki margin of error +/- 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun karena berbagai dinamika yang terjadi belakangan ini.
“Kami menyadari bahwa dalam beberapa waktu terakhir ini Polri mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik akibat kejadian-kejadian menonjol yang berdampak negatif dan menjadi perhatian publik,” kata Sigit di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Sigit mengeklaim, Polri siap mengarahkan segala upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi yang ia pimpin.
Langkah ini sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab Polri untuk mewujudkan harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang adil.
“Menjaga marwah Polri melalui program transformasi menuju Polri yang presisi untuk melaksanakan tugas pokok Polri, menjaga keamanan, ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum,” ujar Sigit.
Merombak Kompolnas
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, seluruh rakyat Indonesia menunggu Presiden Jokowi merombak dan mereformasi Polri secara nyata.
Saat ini sudah ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sayangnya lembaga ini hanya sebagai lembaga asistensi (pembantu) Polri. Padahal beberapa orang menteri duduk di dalamnya.
Kompolnas seharusnya dibuka untuk jadi alat kontrol publik yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden RI.
Seharusnya Kompolnas setelah dipilih dan dilantik oleh Presiden, lembaga ini menjadi alat kontroling dan monitoring dan bisa eksekusi langsung atas nama presiden.
Untuk itu semua anggota Kompolnas bisa online ke Presiden untuk melapor dan mendapat instruksi langsung dari Presiden RI. Jangan seperti saat peristiwa Freddy Sambo, hanya Ketua Kompolnas yang bisa berhubungan dengan Presiden RI kemudian mengambil sikap yang salah dan merugikan Polri.
Selain itu yang terpenting seluruh anggota Kompolnas dibukakan akses untuk masyarakat. Sehingga semua persoalan rakyat yang berhubungan dengan Polri dan keamanan publik lainnya dapat dilaporkan dan diselesaikan oleh Kompolnas menggunakan Polri. Hubungan antara Kompolnas, Presiden RI dan Masyarakat akan memastikan transparansi yang selama ini tertutup, hanya menjadi ladang mafia.
Oleh karena itu, Kompolnas harus berisi orang-orang berintegritas tinggi, tegas dan loyal pada Presiden RI yang diambil dari kalangan pensiunan Polri dan tokoh sipil lainnya. Intinya membangun kontrol yang otoritatif dan tegas pada Polri. Kuncinya ada di Presiden RI yang bersih dan otoritatif. Bukan seperti saat ini dibawah Presiden RI tapi hanya formalitas dan tetap punya kebebasan atas kepentingan dan kemauan sendiri.
Presiden RI, Joko Widodo adalah sosok yang bersih namun otoritasnya sering digerogoti dengan dibohongi, disabot dan diselewengkan oleh bawahannya sehingga belum otoritatif.
Sebagai Presiden RI, Jokowi hanya seorang diri di tengah buasnya lingkaran kekuasaan disekelilingnya. Sehingga niatnya yang benar dan tulus namun yang melaksanakannya bisa menyelewengkan. Sehingga walaupun pembangunan berjalan gegap gempita, namun berbagai persoalan rakyat dan hukum menumpuk tak terselesaikan.
Ada juga usulan dari berbagai pihak mendesak agar Polri ditarik ke bawah Kementerian Dalam negeri, seperti di beberapa negara di barat dan Amerika Serikat. Harapannya agar Polri menjadi lebih baik.
Pandangan yang pragmatis di atas bertujuan menempatkan Polri dibawah gubernur di daerah, belum tentu bisa menjawab persoalan di dalam Polri.
Karena dalam sistim terpusat dibawah pemerintahan pusat yang tunggal saja lembaga ini tidak terkontrol seperti saat ini, apalagi di bawah gubernur atau dibawahnya. Bisa jadi polisi menjadi alat para penguasa setempat. Mafia lokal akan jadi lebih mudah menguasai masing-masing wilayah. Padahal masih ada konflik kepentingan antar daerah.
Ada juga usulan untuk dibentuk semacam Opsus (Operasi Khusus), sebuah lembaga superbody seperti yang pernah dibentuk oleh Soeharto dan Orde Baru. Mungkin Satgassus Merah Putih yang dibentuk Tito Karnavian ingin menjalankan praktek Opsus itu.
Namun pengalaman juga kemudian mengajarkan lembaga-lembaga tersebut rentan melakukan mal-praktek. Opsus banyak menyisakan catatan hitam pelanggaran HAM. Sedangkan Satgassus Merah Putih seperti yang sudah sering diberitakan,– menjadi alat kepentingan segelintir orang yang memiliki otoritas, terbongkar dalam kasus Irjen Polisi Freddy Sambo dan kawan-kawan. (Web Warouw)