JAKARTA — Jumlah penderita kanker darah di Indonesia terus menunjukkan peningkatan yang mempengaruhi. Data Global Cancer Observatory (Globocan) pada tahun 2022 mencatat sebanyak 13.959 kasus baru leukemia.
Angka tersebut menjadikan leukemia menjadi jenis kanker darah yang paling banyak terdeteksi di tanah air, diikuti dengan multiple myeloma sebanyak 3.289 kasus, dan limfoma hodgkin sebanyak 1.294 kasus.
Situasi itu dikonfirmasi oleh Dokter Nadia Ayu Mulansari, spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi onkologi medik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Ia mengungkapkan antrean pasien kanker darah setiap harinya kini semakin membludak.
“Pasien kanker darah memang banyak sekali saat ini. Yang paling banyak diderita adalah leukemia, limfoma, dan myeloma (multiple myeloma),” jelas Nadia saat menghadiri Siloam Oncology Summit 2025 di Jakarta, Sabtu (17/5).
Lebih lanjut, Nadia memaparkan karakteristik usia penderita pada ketiga jenis kanker darah ini cukup berbeda.
Pasien multiple myeloma umumnya berusia di atas 50 tahun, dan kondisi ini membuat pengobatan menjadi lebih kompleks karena sering disertai penyakit penyerta lainnya.
Sedangkan leukemia banyak diderita pasien usia muda, bahkan pada anak-anak. Untuk limfoma, distribusinya lebih merata, sekitar 50 persen pasien berusia muda dan sisanya berusia lanjut.
Sementara untuk pasien kanker darah anak, Nadia mengungkapkan memang jumlahnya juga terus meningkat. Kondisi tersebut tercermin dalam data kanker pada anak.
Berdasarkan data Globocan 2020, tercatat 11.156 kasus kanker pada anak usia 0-19 tahun. Dari jumlah itu, leukemia menempati urutan pertama dengan 3.880 kasus atau sekitar 34,8 persen, diikuti kanker getah bening atau limfoma sebanyak 640 kasus atau 5,7 persen.
Saat angka kasusnya tinggi, angka kesembuhan kanker anak di Indonesia masih sangat rendah. Data WHO pada 2021 menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan kanker anak di Indonesia masih di bawah 30 persen.
Salah satu penyebab utamanya adalah keterlambatan diagnosis karena gejala awal yang tidak dikenali, sehingga pasien sering datang dalam kondisi stadium lanjut. Hal ini berdampak pada pengobatan yang tidak optimal dan angka kematian yang tinggi.
“Kadang gejala leukemia tidak disadari, karena mirip dengan penyakit biasa. Misalnya mudah lelah, pucat, demam berulang, atau mimisan. Padahal itu bisa jadi tanda awal kanker darah,” ungkap Nadia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), saat ini terdapat lebih dari 400.000 orang di dunia yang menderita kanker darah, dan di Indonesia sendiri lebih dari 10 ribu penderita yang sebagian besar adalah anak-anak.
Sementara itu, secara keseluruhan jumlah kasus kanker di Indonesia juga meningkat tajam. Pada 2022, tercatat 408.661 kasus baru kanker dengan angka kematian mencapai 242.099 jiwa.
Situasi tersebut membuat semakin pentingnya deteksi dini, edukasi masyarakat, serta akses pengobatan yang cepat dan merata.
Nadia menekankan bahwa kesadaran masyarakat terhadap gejala awal kanker darah perlu ditingkatkan. Selain itu, akses ke layanan hematologi onkologi juga harus diperluas, terutama di daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas memadai.
“Kalau bisa dideteksi sejak dini, peluang hidup pasien jauh lebih besar. Tapi kalau datangnya sudah terlambat, tentu tantangannya lebih besar bagi kami tim medis untuk menangani,” ujarnya.
Sel Punca, Terobosan Masa Depan
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals Semanggi kembali menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan inovasi penanganan kanker di Indonesia melalui pelaksanaan Siloam Oncology Summit (SOS) 2025 yang berlangsung pada 16-18 Mei 2025 di Hotel Shangri-La, Jakarta.
Mengusung tema “United by Unique”, SOS 2025 menghadirkan 89 pembicara nasional dan 11 pembicara internasional dari berbagai institusi ternama seperti MD Anderson Cancer Center(Amerika Serikat), National Cancer Center Singapore, University of Wollongong (Australia), Icon Cancer Center (Australia), National Cancer Center (Jepang), Sir Run Run Shaw Hospital (China), Rangsit University/Rajavithi Hospital (Thailand), hingga National Cancer Institute Anthoni van Leeuwenhoek (Belanda).
CEO MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr. Edy Gunawan, MARS., menyampaikan bahwa SOS 2025 merupakan ruang belajar dan bertumbuh bersama bagi ekosistem kesehatan global, khususnya penanganan kanker.
“Kami percaya bahwa perkembangan penanganan kanker hanya dapat dicapai melalui kolaborasi. Setiap profesi memiliki peran penting yang unik. Melalui SOS 2025, kami berharap dapat menyatukan keahlian dan memperkuat jejaring, untuk mengembangkan inovasi penanganan pasien menjadi lebih baik dan optimal,” ujarnya.
CEO Siloam Hospital Group, Caroline Riady, mengatakan bahwa setiap pasien itu unik dan memiliki riwayat yang berbeda, kondisi biologis yang berbeda, dan harapan yang berbeda.
“Begitu pula para profesional yang terdiri dari ahli onkologi, ahli bedah, ahli patologi, ahli radiologi, perawat, peneliti, manajemen, semuanya membawa keahlian mereka yang berbeda kemudian dipersatukan oleh tujuan bersama dan berkolaborasi memberikan perawatan kanker terbaik,” ujarnya.
“Melalui pendekatan multidisiplin, kita dapat menyesuaikan perawatan dengan kondisi unik setiap pasien, menyediakan perawatan kanker yang tidak hanya efektif, tetapi juga penuh kasih sayang, holistik, dan berkelanjutan,” lanjut Caroline.
Harapan Baru bagi Pasien Kanker Darah
Salah satu sesi symposium pada Siloam Oncology Summit 2025 adalah Hematology Malignancy 2 yang membahas tentang transplantasi sel punca untuk terapi pasien kanker hematologi atau kanker darah.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi Onkologi Medik dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr. Nadia Ayu Mulansari, SpPD-KHOM, menjelaskan, transplantasi sel punca hematopoietik (Hematopoietic Stem Cell Transplantation/HSCT) kini menjadi salah satu harapan utama bagi pasien kanker darah. Prosedur medis ini terbukti efektif dalam membantu pemulihan penderita leukemia, limfoma, mieloma multipel, hingga penyakit kelainan darah seperti anemia aplastik dan talasemia.
“Transplantasi sel punca hematopoietik pada dasarnya bertujuan mengganti sumsum tulang yang rusak akibat kanker atau kelainan darah, dengan sel punca yang sehat,” kata dr. Nadia.
Dr. Nadia menambahkan, ada dua jenis transplantasi sel punca untuk keganasan hematologi yang umum dilakukan. Pertama adalah Transplantasi Autologus yang menggunakan sel punca dari tubuh pasien sendiri. Biasanya dilakukan pada pasien yang masih memungkinkan untuk sembuh atau pengendalian penyakit.
Sel punca diambil dan disimpan, kemudian pasien menjalani kemoterapi dosis tinggi untuk menghancurkan sel kanker. Sel punca kemudian dikembalikan ke tubuh untuk memulihkan fungsi sumsum tulang. Kedua adalah Transplantasi Alogenik yang menggunakan sel punca dari donor yang cocok secara genetik.
Umumnya dilakukan pada pasien leukemia atau kelainan genetik yang menyebabkan kerusakan sumsum tulang. Donor bisa berasal dari anggota keluarga atau pencarian donor melalui bank donor internasional.
“Keberhasilan transplantasi sangat bergantung pada kondisi penyakit, usia pasien, serta kecocokan donor. Transplantasi ini bisa memberikan remisi jangka panjang, bahkan kesembuhan,” kata dr. Nadia.
Selain menghancurkan sel kanker, terapi ini juga meregenerasi sistem imun pasien, memberi peluang tubuh untuk melawan sel kanker yang tersisa.
Meskipun menjanjikan, transplantasi sel punca memiliki tantangan besar yaitu ketersediaan donor. Hanya sekitar 25–30% pasien memiliki donor cocok dari keluarga. Selebihnya harus mencari donor dari luar.
“Edukasi masyarakat tentang pentingnya menjadi donor sangat krusial. Ketersediaan donor bisa menentukan hidup dan mati pasien,” ujar dr. Nadia.
Tantangan kedua adalah efek samping. Transplantasi berisiko menimbulkan efek samping serius seperti infeksi, penolakan transplantasi (graft versus host disease), hingga komplikasi jangka panjang. Oleh karena itu, pemantauan intensif setelah prosedur sangat dibutuhkan.
Tantangan dan Peran Transplantasi Sel Punca di Era Terapi Baru
Di Indonesia, prosedur ini sudah bisa dilakukan di beberapa rumah sakit besar seperti MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, RS Kanker Dharmais, dan RSCM.
“Namun masih terdapat tantangan seperti terbatasnya fasilitas dan tenaga medis terlatih, keterbatasan jumlah pusat transplantasi, dan biaya yang tinggi. Upaya kolaborasi dan investasi di bidang hematologi sangat dibutuhkan agar lebih banyak pasien bisa mengakses pengobatan ini,” tutur dr. Nadia.
Dokter Konsultan Senior Bidang Hemato-onkologi dari National Cancer Centre Singapore, Prof. William Hwang, MBBS, M Med, FRCP, FAMS menjelaskan, transplantasi sel punca tetap memegang peran penting, bahkan di tengah kemunculan terapi-terapi canggih seperti CAR-T dan antibodi bispesifik.
“Transplantasi sel punca tidak akan tergantikan dalam waktu dekat. Bahkan dengan hadirnya terapi CAR-T dan antibodi bispesifik, transplantasi tetap menjadi pengobatan kuratif utama untuk banyak jenis kanker darah,” jelas Prof. Hwang.
Transplantasi menjadi pilihan utama bagi pasien yang mengalami kekambuhan atau tidak merespons pengobatan standar.
“Untuk pasien muda dan yang secara fisik masih kuat, transplantasi masih memberi harapan kesembuhan penuh,” tambahnya.
Prof. Hwang menekankan bahwa terapi CAR-T dan antibodi bispesifik adalah pelengkap, bukan pengganti.
CAR-T: Sel T pasien dimodifikasi agar bisa mengenali dan menyerang sel kanker. Antibodi bispesifik kemudian menghubungkan sel T dengan sel kanker agar sistem imun bisa menghancurkan target secara langsung.
Kedua terapi ini memberi harapan baru, namun efektivitasnya tergantung pada jenis kanker, kondisi pasien, dan respons imun tubuh. Dalam beberapa kasus, pasien tetap memerlukan transplantasi setelah terapi ini.
“Kami melihat terapi baru ini sebagai pelengkap, bukan pengganti. Mereka membantu menjembatani pasien menuju transplantasi,” jelas Prof. Hwang.
Ke depan, kombinasi terapi inovatif dan transplantasi bisa menjadi strategi utama pengobatan kanker darah.
“Bayangkan CAR-T dan antibodi bispesifik sebagai pasukan khusus untuk menyerang musuh spesifik, lalu transplantasi sel punca sebagai tentara besar yang membersihkan sisa-sisa penyakit,” ungkap Prof. Hwang.
Kolaborasi untuk Perluasan Akses Transplantasi sel punca masih merupakan prosedur kompleks dan mahal. Dukungan pemerintah, edukasi masyarakat, dan kolaborasi internasional sangat dibutuhkan.
“Dengan kerja sama antarnegara dan peningkatan pusat transplantasi di Asia, kita bisa memberi lebih banyak pasien kesempatan untuk sembuh,” tegas Prof. Hwang. (Web Warouw)