SURAKARTA – Istri aktivis hak asasi manusia (HAM) Widji Widodo atau Wiji Thukul, Dyah Sujirah, meninggal dunia di usia 55 tahun akibat serangan jantung di RS Hermina, Surakarta, Kamis (5/1).
Juru bicara keluarga, sekaligus sahabat Dyah Sujirah atau Sipon, Hastin Dirgantari saat dikonfirmasi di Surakarta, Jumat (6/1) mengatakan sebelum meninggal dunia Sipon sempat mengeluhkan dan sesak napas. Sipon juga diketahui menderita penyakit diabetes, yang sebelum meninggal dunia angka gula darahnya mencapai 500.
Hastin mengatakan kesehatan ibu dua anak tersebut sudah menurun sejak dua pekan terakhir.
“Tadi malam (Kamis) ke dokter, kemudian dicek gula darahnya 500-an, tapi tensi (darah) rendah 80/60. Dokter langsung menyatakan harus dibawa ke rumah sakit,” kata Hastin.
Kakak Sipon, Sarijo, mengenang Sipon selama ini terkenal suka memperjuangkan hak rakyat kecil.
“Saya salut sama adik saya, Sipon, pahlawan kampung. Semua (warga kampung) nggak punya sertifikat, jadi punya sertifikat. Itu perjuangan Sipon,” kata Sarijo.
Jenazah ibu dari Fajar Merah dan Fitri Nganti Wani itu dimakamkan di TPU Purwoloyo, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres, Jumat, pukul 10.00 WIB.
Wiji Thukul Hilang
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sebagai informasi, Wiji Thukul adalalah seniman dan budayawan yang hilamg diculik Kopassus menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998.
Sampai hari ini tidak diketahui nasibnya dan tidak ada tanggung jawab negara atas hilangnya Wiji Thukul. Sampai akhir hayatnya Pon tetap menunggu pertanggung jawaban negara atas hilangnya suaminya Wiji Thukul
Anak Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wan sempat menantang para pihak yang bertanggung jawab untuk jujur soal penculikan para aktivis di kurun waktu 1997-1998.
Harapan bahwa ayahnya masih hidup membuat dia dan ibundanya, Sipon, masih bergerak mencari keadilan demi mengetahui kondisi ayahnya yang hilang menjelang jatuhnya rezim Orde Baru.
“Bapak saya itu cuma menulis buku harian, berupa puisi, atas apa yang terjadi di sekitarnya. Betapa konyolnya bahwa cuma seperti itu, bapak saya dihilangkan,” kata Fitri.
Fitri tak menyangkal bahwa ada anggapan ibundanya mengalami tekanan psikologis yang tak stabil hingga sekarang akibat hilangnya sang ayah.
“Bagi kami penting untuk tahu dimana keberadaan bapak. Tak ada yang digantung nasibnya dan disepelekan,” katanya.
Menurut Fitri, selama mayat ayahnya tak ada, dan selama belum ada pernyataan siapa pembunuh Wiji Thukul, maka dirinya meyakini ayahnya masih hidup.
Fitri menilai para tokoh yang diduga terkait peristiwa hilangnya aktivis pada 1997-1998, tak pernah berpikir dewasa. Bahkan, selalu arogan, sekaligus pengecut.
“Jangan arogan terus. Mereka harus tegas. Jangan permainkan banyak pihak. Baik keluarga, atau Komnas HAM,” jelas Fitri. (Prijo Wasono)