JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan pertimbangan penting dalam putusan permohonan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), bahwa aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia sesungguhnya diperbolehkan sepanjang tidak melanggar rambu-rambu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), pada Kamis lalu (21/3).
Sebagai latar belakang, PT GKP mengajukan permohonan Uji Materiil (Judicial Review) ke MK ini dikarenakan merespon hasil putusan Mahkamah Agung (MA) pada Desember 2022 lalu yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan, karena MA menilai larangan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersifat absolut.
Kondisi ini mendasari permohonan Uji Materiil PT GKP ke MK yang menuntut kepastian hukum terkait pemaknaan UU PWP3K, karena hasil putusan MA lalu dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 dan 28I ayat 2 UUD Tahun 1945.
Dalam pertimbangan amar putusan MK, Majelis Hakim MK tidak melarang kegiatan di luar yang diprioritaskan, termasuk kegiatan pertambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Para Hakim MK sepakat menolak untuk menilai ketentuan norma Pasal 35 k UU PWP3K dimaknai sebagai larangan yang bersifat absolut, yang mana seharusnya dapat dimaknai “diperbolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat wajib”.
Maka dari itu, Hakim MK menilai perusahaan tidak dirugikan. Sehingga, atas dasar itu pula, permohonan Uji Materiil atas ambiguitas dan ketidakpastian hukum UU PWP3K PT GKP ditolak oleh MK.
Putusan MK juga menegaskan bahwa pulau-pulau kecil memang memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi, baik sumber daya hayati maupun non-hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional baik bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, maupun bagi penyangga kedaulatan bangsa.
Namun, pulau-pulau kecil juga memiliki kerentanan terhadap pengaruh eksternal dan kegiatan pembangunan. Ihwal ini, UU PWP3K telah memberikan dasar hukum, arah, dan rambu-rambu guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara adil dan berkelanjutan.
Syarat Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 23 ayat 2 UU PWP3K menyatakan bahwa pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan; budi daya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan secara industri; pertanian organik; peternakan; dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Menurut para Hakim MK, penggunaan kata “diprioritaskan” untuk menjelaskan fungsi-fungsi utama pulau-pulau kecil menjadi kunci dalam menjelaskan UU PWP3, di mana kata “prioritas” dimaksud mengandung arti diutamakan dan didahulukan dari yang lain.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka kepentingan lain selain kepentingan prioritas dimungkinkan untuk dilakukan sepanjang tidak mengancam kelestarian lingkungan. Sebab, kepentingan tersebut wajib memenuhi persyaratan secara kumulatif yaitu memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memerhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, serta menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Pada Pasal 35 (k) UU PWP3K, substansi larangan terkait pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menyatakan, “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara langsung atau tidak langsung dilarang: k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang “apabila” secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan da/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”
“Ini berarti pula bahwa, apabila dimaknai secara a contrario, apabila tidak merusak lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan tidak merugikan masyarakat sekitarnya, maka kegiatan penambangan mineral tersebut diperbolehkan,” disampaikan dalam pertimbangan putusan oleh Hakim MK.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, menyambut putusan ini, Manager Strategic Communication PT GKP, Alexander Lieman mencoba meluruskan narasi yang tidak sesuai dengan substansi pembahasan putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 ini.
“Banyak kesalahpahaman di masyarakat, utamanya di media massa dan media sosial terkait hasil putusan MK ini. Sebenarnya yang ditolak itu permohonan Uji Materiil yang terkait dengan interpretasi UU PWP3K. Namun, dari hasil pertimbangan Majelis Hakim MK, bahwa sudah sangat jelas dan clear bahwa kegiatan pertambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperbolehkan sepanjang tidak melanggar rambu-rambu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 k UU PWP3K,” jelas Alexander dalam keterangan resmi.
“Melalui hasil pertimbangan Majelis Hakim MK ini, kami dari seluruh jajaran PT GKP terus berkomitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan. Oleh karena itu,saya menghimbau kepada seluruh masyarakat lingkar tambang dan karyawan kami untuk terus berkomitmen menjunjung tinggi syarat-syarat ini, agar pembangunan berkelanjutan di Pulau Wawonii bisa kita jalankan bersama-sama,” tambahnya.
Rakyat Ikut Mengawasi
Selama ini dalam setiap proyek rakyat selalu dalam posisi dirugikan dan pemerintah mengabaikan. Untuk itu dimasa depan, dalam setiap proyek yang direncanakan dilaksanakan baik oleh pemerintah ataupun swasta, rakyat setempat harus ikut mengawasinya.
Terutama rakyat yang berasal dari desa dan komunitas terdekat dari wilayah proyek tersebut harus memastikan keamanan masyarakatnya dan lingkungan hidupnya jangan sampai merugikan apalagi membahayakan.
Selain itu masyarakat yang berasal dari desa dan komunitas tersebut harus memastikan keuntungan dari proyek tersebut. Masyarakat harus mendapatkan uang sewa dari tanah miliknya tanpa menjual tanah, mendapat kompensasi bila ada dampak kerugian, memastikan rekurtmen tenaga kerja dari orang setempat, mendapat share saham keuntungan yang jelas bagi setiap keluarga bila perusahaan sudah mendapatkan keuntungan.
Untuk itu seluruh rakyat dari wilayah terdekat proyek tersebut harus berkumpul dan bermusyawarah dalam Dewan Rakyat setempat untuk menentukan semua hal di atas kemudian disampaikan dalam rapat perencanaan proyek tersebut bersama perusahaan dan pemerintah. Dewan Rakyat setempat berhak untuk memveto (membatalkan) apabila proyek tersebut merugikan atau berbahaya bagi rakyat dan lingkungan hidup setempat.
Wakil-wakil rakyat yang dipilih masyarakat juga harus duduk di dalam struktur perusahaan ditingkatan pengawas untuk memastikan kepentingan rakyat dan ikut menjaga kepentingan proyek sebagai kepentingan bersama. Untuk itu.masyarakat juga ikut serta dalam.Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Semua persoalan dimusyawarahkan bersama antara wakil rakyat, perusahaan dan pemerintah.
Perintah Konstitusi dan Pancasila
Keterlibatan rakyat di atas dalam mengawasi berbagai proyek pembangunan dijamin dalam UUD’45 Pasal 33 yang berbunyi:
“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Perintah UUD’45 Pasal 33 di atas di dasari Sila Ke 5 dari Pancasila yang berbunyi:
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” (Web Warouw)