JAKARTA- Demonstrasi adalah ekspresi demokrasi untuk tujuan menyampaikan aspirasi, karena itu kebebasan berpendapat mendapat jaminan dalam hukum HAM dan dalam Konstitusi RI. Tetapi, demonstrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh demokrasi dan tidak melanggar hukum. Rencana gelar sajadah di jalan protokol Jakarta pada 2 Desember 2016 adalah bentuk demontrasi yang jika benar dilaksanakan merupakan pelanggaran hukum. Hal ini disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (22/11).
“Apalagi demonstrasi tersebut ditujukan untuk mendesak penangkapan dan penahanan Basuki Tjahaja Purnama yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka,” tegasnya.
Ia mengingatkan Polri sebagai penegak hukum adalah institusi demokrasi yang menjadi instrumen penegakan hukum, sehingga rule of law bisa ditegakkan. Tidak bisa proses peradilan ditekan sedemikian rupa sehingga penegak hukum tidak bekerja independen.
“Trial by mob adalah bentuk tindakan antidemokrasi. Pimpinan NU, Muhammadiyah, MUI, dan lainnya secara terbuka menyatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Karena itu aksi gelar sajadah tidak lagi relevan,” tegasnya.
Sebaliknya, Polri justru harus menyusun langkah penegakan hukum pada kelompok yang main hakim sendiri (vigilante) karena tindakannya yang melawan hukum, menebar ancaman, dan menebar kebencian yang melampaui batas.
“Tindakan-tindakan tersebut merupakan tindak pidana yang harus diusut oleh Polri yang jika dibiarkan, akan menjadi ancaman bagi demokrasi dan negara hukum Indonesia,” ujarnya.
Hendardi menegaskan perlunya tindakan penegakan hukum pada mereka yang melakukan tindak pidana dan dugaan aksi-aksi inkonstitusional harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa soal demonstrasi ini bukan semata-mata soal Ahok yang belum ditahan dan soal Pilkada DKI, tetapi soal kebangsaan dan negara hukum Indonesia yang dicabik-cabik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Jaringan Antar Iman
Sebelumnya Bergelora.com menerima pers rilis dari Jaringan Antar Iman Indonesia yang menegaskan agar Presiden Joko Widodo bersikap tegas terhadap praktek-praktek intoleransi. Dibawah ini pernyataan lengkapnya:
Negara Jangan Kalah Melawan Gerakan Intoleransi Berbasis Agama dan Modal
Situasi kebangsaan yang kita alami saat ini, dari hari ke hari menunjukkan kemunduran yang cukup besar. Keberagaman agama, keyakinan, adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan yang telah hidup di Bumi Nusantara ini sejak ribuan tahun lalu, saat ini mengalami kontraksi yang dalam akibat politik identitas yang dimainkan demi kepentingan pragmatisme kekuasaan.
Hal ini cukup menyedihkan. Upaya para pendiri Bangsa menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai rumah bersama yang ramah dan beradab bagi keberagaman dan perbedaan digoda untuk terlibat pada pertikaian anak bangsa dengan menggunakan agama sebagai tameng kekuasaan. Rumusan tentang dasar negara Pancasila dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah common denominator, kalimah as-sawaa, daya rekat yang membuat kita bertahan sebagai sebuah negara ketika negara-negara lain di dunia telah menemukan takdirnya sebagai negara gagal.
Era reformasi telah membawa perubahan yang banyak bagi bangsa ini, baik positif maupun negatif. Sisi negatif reformasi yang kita rasakan adalah munculnya kuasa memaksakan kehendak atas nama mayoritas. Agama pun diayunkan untuk melakukan pembenaran dan pemaksaan kuasa. Situasi ini sungguh riskan bagi Indonesia yang beragam untuk memperkuat semangat anti-diskriminasi. Bukan saja beragam dari agama, tapi juga aliran-aliran yang tumbuh dalam sebuah agama pun cukup banyak dan selama ini mendapatkan tempat untuk saling berjumpa dan memperkaya. Hal itu sebenarnya menjadi kekuatan dalam konteks pluralisme, tapi juga bisa menjadi nuklir yang meluluh-lantakkan persatuan dan kesatuan bangsa. Soekarno sendiri mengatakan bahwa demokrasi yang dihidupkan untuk bangsa ini adalah demokrasi yang menghayati dan mampu memaknai perbedaan sebagai kekuatan bersama, demokrasi yang menuju kemufakatan, bukan demokrasi mayoritarian apalagi tirani minoritarian yang menghancurkan.
Mensikapi atas aksi demonstrasi yang semakin marak dilakukan selama ini, kami merasa hal ini terjadi karena kurang jelinya pemerintah melihat situasi aksi massa. Aksi massa dapat dikatakan sebagai ekspresi demokrasi ketika ia memberikan ruang deliberasi, dilakukan dengan suka rela, menjaga etika dan kesantunan dalam beropini, dan tidak mengandung unsur destruksi, dehumanisasi, dan propaganda. Namun jika demonstrasi digunakan untuk kepentingan membangun ketidakstabilan negara, mengarah kepada perpecahan bangsa dengan ekspresi verbal dan tulis yang penuh dengan kebencian, ketidaksantunan dan ancaman yang menciptakan rasa tidak aman, apalagi ditengarai digerakkan oleh kekuatan modal dan uang luar biasa, maka hal itu tidak tepat lagi dikatakan sebagai ekspresi demokrasi-atau ekspresi aksi damai. Damai menjadi semu : diucap tapi tidak dipraktekkan.
Meskipun aksi 4 November 2016 secara umum dikatakan berlangsung damai, kita melihat beberapa cacat demokrasi dalam aksi itu. Gerakan uang yang besar dan isu agama dijadikan untuk membelah masyarakat Indonesia termasuk umat Islam menjadi hal yang penting diwaspadai. Buntut aksi itu telah terlihat tidak seluas wacana yang disampaikan di ruang publik. Ada isu kudeta yang diteriakkan para tokoh aksi. Ada wacana politik kekerasan yang bisa mengarah kepada isu kekerasan, termasuk yang disampaikan atas nama jihad. Belum lagi upaya untuk mengklaim aksi tersebut sebagai representasi umat Islam. Padahal sejak awal dua ormas besar Islam di Indonesia : Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, telah teruji sebagai penjaga negeri dan persatuan bangsa, menolak ikut serta dalam aksi ini, yang cenderung menumbuhkan mafsadah (daya rusak) dibandingkan manfaatnya.
Oleh karenanya, Kami Jaringan Antariman Indonesia, meminta :
Kepada Umat Beragama:
- Jaga keluhuran Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragam dan tegak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perbedaan di antara kita harus menjadi kekuatan bersama untuk tetap bermartabat sebagai bangsa dan negara hingga generasi ratusan tahun ke depan, ketika banyak negara lain mulai bertumbangan akibat isu agama dan sektarianisme.
- Hentikan aksi-aksi massa yang bernuansa sektarian dan menggunakan isu-isu agama yang bisa memecah-belah bangsa Indonesia. Ingat kembali wawasan kebangsaan kita yang plural dan multi-kultural. Jangan mudah terprovokasi untuk terlibat isu-isu sektarian seperti yang dihembuskan oleh orang-orang yang kurang bertanggung-jawab atas keberadaan bangsa ini. Jaga komunikasi untuk tidak menjelekkan sesama umat, dan tunjukkan adab sebagai orang yang beriman dan berkeindonesiaan secara benar.
Kepada Panglima TNI dan Kapolri:
- Tetap tegak lurus dalam menjalankan peran pertahanan dan keamanan secara profesional, adil, dan imparsial. TNI dan Kepolisian adalah bagian penting, tulang-punggung pertahanan dan keamanan nasional. Selayaknya melihat masalah dengan jernih dan tidak menyiratkan bahkan sebesar zirah pun untuk terlibat dalam politik kepentingan yang saat ini mulai marak. Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan Tribrata harus tetap tergiang di dada dan pikiran selama nyawa di kandung badan. Bangsa ini memerlukan TNI dan Polri yang kuat dan solid untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan tidak membiarkan upaya infiltrasi, agitasi, dan propaganda merapuhkan sendi-sendi kebangsaan ini.
- Bersikap tegas terhadap segala niat jahat yang dimunculkan oleh mereka yang melecehkan Pancasila dan UUD 1945, untuk memecah-belah persatuan. Jangan sampai isu agama digunakan untuk mencederai dan menyakiti kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. Perkuat upaya intelejen dan kontigensi atas aksi-aksi politik berselimutkan isu-isu agama. TNI dan Polri harus mencegah setiap niat jahat yang muncul agar tidak membakar massa untuk melakukan aksi intoleransi dan radikal yang saat ini menggunakan media massa, daring, dan teknologi informasi.
Kepada Presiden Joko Widodo:
- Tetaplah menjadi presiden rakyat Indonesia, yang melindungi segenap kepentingan rakyat Indonesia, dari kepentingan mayoritas seperti juga kepentingan minoritas, apa pun latarbelakang agamanya, dari masyarakat perkotaan hingga pedesaan, masyarakat yang bersuara nyaring di pusat kekuasaan hingga suara-suara sunyi di ujung-ujung, pelosok Nusantara yang menginginkan bangsa ini tegak dengan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
- Tidak berkompromi dengan kelompok-kelompok intoleran yang memiliki agenda kekuasaan. Karena isu-isu yang muncul saat ini menjadi sedemikian krusial jika terus dibiarkan atas nama demokrasi dan kebebasan berbicara. Demokrasi memiliki aturan dan aturan itu yang menjadi batas demarkasi apakah hal itu masih mengemban nilai-nilai substansial demokrasi atau hanya aksi elitis yang berhasrat kepada kekuasaan dan berjangka pendek.
Jakarta, Senin, 21 November 2016
Elga J. SARAPUNG
(Institut DIAN/Interfidei),
Koordinator
Team
- Azyumardi Azra (Cendekiawan Muslim, Jakarta)
- KH. Hussein Muhammad (Ulama, Cirebon)
- Pdt. Andreas A. Yewangoe (Tokoh Agama Kristen Protestan, Kupang)
- Romo Frans Magnis Suseno, SJ (Tokoh Agama Katolik, Jakarta)
- Pdt. Margaretha Hendriks Ririmase (Tokoh Agama Kristen Protestan, Ambon)
- Ihsan Ali-Fauzi (Pusad Paramadina, Jakarta)
- Sri Pannyavaro Mahathera (Tokoh Agama Buddha, Vihara Mendut, Magelang)
- Pdt. Zakaria Ngelow (Tokoh Agama Kristen, Makassar)
- RD. Neles Tebay (Tokoh Agama Katolik, Papua)
- I Nyoman Sadra (Tokoh Agama Hindu, Karangasem-Bali)
- Abidin Wakano (LAIM, Ambon)
- Jacky Manuputty (LAIM, Ambon)
- Teuku Kemal Fasya (JAII, Aceh)
- Miryam Nainggolan (JAII, Jakarta)
- Al Araf (IMPARSIAL, Jakarta)
- Gufron Mabruri (IMPARSIAL, Jakarta)
- Wawan Gunawan (Jakatarub, Bandung)
- Aan Anshori (JIAD, Jombang)
- Ciciek Farcha (Komunitas Tanoker, Ledokombo)
- Otto Yulianto (Interfidei, Yogyakarta)
- Rizal Panggabean (JAII, Yogyakarta)
- Nia Sjarifuddin (ANBTI, Jakarta)
- Noorhalis Madjid (LK3, Banjarmasin)
- Abdul Karim (LAPAR, Makassar)
- Rusli Umar (Pemuda Lintas Iman SULUT, Manado)
- Alim Niode (JAII, Gorontalo)
- Lian Gogali (Institut Mosintuwu, Poso)
- Muhammad Taufik (JAII, Padang)
- Ridwan al-Makasarry (JAII, Papua)
- Siti Musdah Mulia (ICRP, Jakarta)
- Muhd. Abdullah Darraz (MAARIF Institute, Jakarta).
- Ahmad Imam Mujadid Rais (MAARIF Institute, Jakarta)
- Helmi Pribadi (MAARIF Institute, Jakarta)
- Deni Murdiani (MAARIF Institute, Jakarta)
(Web Warouw)