JAKARTA- Setara Institute meminta Kementerian Dalam Negeri RI untuk mengambil prakarsa menyusun suatu desain komprehensif penghapusan diskriminasi agama dan kepercayaan termasuk diskriminasi terhadap perempuan. Desain Penghapusan Diskriminasi akan menjadi pemandu penyusunan kebijakan dan tindakan kepala daerah dan otoritas daerah lain dalam menangani kasus-kasus kekerasan atas nama agama termasuk perda-perda yang diskriminatif. Semua langkah itu adalah manifestasi dari kebangkitan nasional. Demikian Ketua Setara Institute Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (23/5).
“Sebagaimana diketahui, arus politik penyeragaman atas dasar agama dan moralitas telah menimbulkan kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Kemendagri adalah salah satu institusi negara yang memiliki kewenangan penanganan masalah ini,” ujarnya.
Sebelumnya Setara Institute melakukan dialog kebijakan dengan Menteri Dalam Negeri RI Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (20/5) lalu Tujuan Dialog Kebijakan ini adalah untuk membangun sinergi dan koordinasi antarpemangku kepentingan dalam rangka memajukan hak asasi manusia, khususnya penghapusan diskriminasi agama/keyakinan di Indonesia.
“Kebangkitan nasional sebagai sebuah momentum untuk menghadirkan kembali semangat terbentuknya bangsa, yang menegaskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai fakta sosio-antropologis bangsa Indonesia yang harus dikelola dan dirawat oleh setiap generasi. Kebangkitan nasional hari ini ditujukan untuk bangkit melawan praktik diskriminasi, kekerasan, atas dasar apapun,” demikian Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos kepada Bergelora.com.
Kepada Menteri Dalam Negeri Setara Institute menyampaikan fakta-fakta pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sejak 2007-2014. Sepanjang 8 tahun, tercatat 1.680 peristiwa dengan 2.268 tindakan pelanggaran. Jika dirata-ratakan maka setiap tahun terjadi 210 peristiwa dengan 283 tindakan. Sebagian besar peristiwa tersebut mengalami impunitas dan tidak diadili secara fairness dan memenuhi rasa keadilan. Sementara, aktor pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dan aktor non negara.
Selama 8 tahun juga, SETARA Institute mencatat 316 tempat ibadah mengalami gangguan dengan derajat yang beragam, dari pembakaran, pengrusakan, gagal didirikan dengan alasan perizinan dan lainnya. Dari 316 tempat ibadah tersebut terdapat 20 tempat ibadah aliran kepercayaan, 163 gereja, 3 klenteng, 110 masjid aliran keagamaan minoritas, 1 sinagog, 5 pura, dan 14 vihara.
Qanun Jinayat
Selain itu Bonar Tigor Naipospos merujuk pada data Komnas Perempuan (Agustus 2014), terdapat 365 kebijakan diskriminatif yang dibentuk atas dasar agama, dalil-dalil keagamaan misoginis, dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dari 365 kebijakan tersebut terdapat 279 kebijakan yang langsung menyasar pada perempuan. Sedangkan yang mendiskriminasi kelompok agama dan kepercayaan terdapat 40 kebijakan. Selain itu terdapat Qanun Jinayat Aceh dan Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban di Aceh Utara yang hingga kini belum direspons oleh pemerintah.
“Perda-perda diskriminatif yang lahir sejak kebijakan otonomi daerah digulirkan pada 1999 juga potensial direplikasi oleh otoritas desa yang melalui Undang-undang No 6/2014 tentang Desa memiliki kewenangan membentuk peraturan desa, hingga dimungkinkan melahirkan perdes-perdes yang diskriminatif,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa fakta-fakta diskriminasi dan kekerasan tersebut hingga kini tidak memperoleh penanganan tuntas dari otoritas negara, termasuk Kementerian Dalam Negeri yang mempunyai kewenangan mengevaluasi peraturan daerah dan kewenangan dalam hal pendirian tempat ibadah bagi umat beragama.
“Beberapa gagasan dan rencana kebijakan yang sempat diwacanakan terkait penghapusan kolom agama, RUU Perlindungan Umat Beragama, dan draft Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (Ranham) hingga kini belum mendapat perhatian serius pemerintah, yang semestinya bisa menjadi instrumen penghapusan diskriminasi atas dasar agama, moralitas, dan jenis kelamin,” jelasnya.
Sementara, untuk memastikan implementasi Undang-undang No 6/2014 tentang Desa tidak menjadi bencana di tingkat lokal, Setara Institute menurutnya juga mendorong peningkatan kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan desa yang baik di tingkat lokal.
“Memperbaiki kualitas demokrasi dan tata kelola, bukan hanya akan menjadi instrumen mewujudkan akuntabilitas pembangunan desa tapi juga mencegah potensi-potensi diskriminasi melalui peraturan-peraturan desa yang diskriminatif,” ujarnya. (Dian Dharma Tungga)