SOLO- Sekretariat Bersama (Sekber) 1965 menyambut baik dan setuju dengan rencana pemerintahan Joko Widodo yang akan menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965/1966 lewat rekonsiliasi. Jalan rekonsiliasi penting agar tidak menjadi beban generasi mendatang dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Sekretariat bersama 1965, Winarso kepada Bergelora.com di Solo, Sabtu (23/5).
“Kalau lewat proses hukum tidak mungkin. Karena pelaku utama Jenderal (Purn) Suharto dan (Jendaral (Purn) yang mengeluarkan instruksi telah meninggal. Maka yang paling mungkin adalah jalan rekonsiliasi,” ujarnya.
Menurutnya, rekonsiliasi adalah cara mengurangi beban dosa masa lalu dengan jalan kebenaran sejarah harus mulai diluruskan supaya generasi muda kita paham dan dapat menilai secara obyektif tentang tragedi 1965/1966 itu.
Ia menjelaskan beberapa tahap harus dilalui untuk menuju rekonsiliasi nasional yang akan mengakhiri misteri kejahatan kemanusiaan yang menelan korban 3 juta orang di Indonesia pada tahun 1965-1966 itu.
“Pada tahapan awal adalah pengungkapan kebenaran. Tahap kedua adalah perminta-maafan oleh Pemerintah Republik Indonesia atas tragedi kemanusiaan 1965/1966. Ketiga ada janji tak akan terulang lagi peristiwa tersebut. Keempat pengesahan Undang-undang tentang Rekonsiliasi yang berisi pemulihan nama baik, reparasi, kompensasi dan pemulihan hak ekonomi dan politik,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa salah satu penghambat utama bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kemajuan-kemajuan peradaban adalah masih ada fihak-fihak yang menebar kecurigaan, kebencian dan dendam. Padahal menurutnya, peristiwa 1965 adalah keberhasilan politik adu domba pihak luar negeri yang bertujuan untuk menggulingkan presiden Soekarno dengan mengorbankan jutaan rakyat Indonesia.
“Jangan lagi ada diskriminasi terhadap keluarga korban. Mereka harus jadi warga negara yang sama dengan yang lainnya, baik dari segi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Rekonsiliasi sebagai landasan untuk menata arah bangsa ke depan tanpa perasaan beban kecurigaan, kebencian dan dendam,” tegasnya.
Presiden Minta Maaf
Sebelumnya Menko Polhukam Tedjo Edhy kembali mengadakan pertemuan dengan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, Dirjen HAM Mualimin Abdi, serta jajaran Komnas HAM. Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk mengungkap kasus-kasus tersebut.
“Kita akan uraikan, jelaskan kebenarannya seperti apa. Nanti ada semacam pernyataan bahwa betul ada pelanggaran HAM, kedua dengan adanya pelanggaran HAM itu kita berkomitmen ke depan untuk tidak akan terulang lagi. Ketiga baru Presiden atas nama negara menyatakan penyesalan dan minta maaf. Itu poin-poin dari rekonsiliasi,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta Selatan, Kamis (21/5) lalu.
Prasetyo menyebut 6 kasus yang akan ditangani akan diselesaikan secara bersamaan. Hal itu dilakukan agar efektif dan praktis.
“Kita akan selesaikan secara bersamaan. Tidak satu per satu. Karena ada di era pemerintahan yang sama, rezim yang sama,” ucap Prasetyo.
Sebenarnya ada 7 kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, namun 6 kasus akan ditangani oleh komite gabungan. Keenam kasus tersebut adalah kasus peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talang Sari di Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Sementara 1 kasus lagi yaitu peristiwa Wasior dan Wamena 2003 lantaran terjadi setelah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Nantinya kasus itu akan dituntaskan melalui pengadilan HAM permanen. (P. Wasono)