JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia masih terus menyidik kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengungkap hingga saat ini sudah ada sejumlah aset yang disita penyidik. Selain menyita aset, Ketut menyebut ada juga rekening yang diblokir.
“Sampai dengan hari ini Tim Penyidik telah melakukan pemblokiran terhadap 66 rekening dan 187 bidang tanah/bangunan,” kata Ketut dalam keterangan tertulis, Kamis (16/5/2024).
Selain itu, penyidik menyita sejumlah uang tunai, 55 unit alat berat, dan 16 unit mobil. Namun, ia tidak merincikan detil serta dari siapa sejumlah aset itu disita. Selanjutnya, Tim Penyidik juga telah melakukan penyitaan terhadap aset berupa enam smelter atau tempat pemurnian timah di wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan total luas bidang tanah 238.848 meter persegi.
“Serta satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah Kota Tangerang Selatan,” ucap dia.
Menurut Ketut, enam smelter itu telah dititipkan kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian, enam smelter bisa beroperasi dan pengelolannya dilakukan BUMN.
“Sehingga tindakan penyitaan yang dilakukan tetap menjaga nilai ekonomis dan tidak memberikan dampak sosial,” tambah dia.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, smelter yang disita di antaranya dari smelter CV VIP, smelter PT SIP, smelter PT TI, dan smelter PT SBS. Kejagung sebelumnya melakukan penyitaan ini pada Kamis (18/4/2024).
21 Tersangka
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 21 tersangka di antaranya Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), hingga crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim. Para tersangka diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar atau ilegal di wilayah Bangka Belitung untuk mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan hasil perhitungan dari ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo diperkirakan nilai kerugian kerusakan lingkungan dalam kasus ini mencapai Rp 271 triliun. Sementara kerugian keuangan negaranya masih dihitung. (Enrico N. Abdielli)