Selasa, 1 Juli 2025

Spesialis Layanan Primer, Jauh Panggang Dari Api !

Oleh : Dr. H. Agus Hasan Setiawan, MBA*

JAKARTA- Jika anda adalah seorang penentu kebijakan dalam hal ini tentunya dalam bidang kesehatan…apa yang akan anda lakukan jika melihat rujukan dari Puskesmas sebagai FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) ke rumah-rumah sakit sebagai FKTL (Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut) yang sangat besar?? Sehingga 80% budget keuangan terserap di rumah sakit sedangkan hanya kurang lebih 20% di tingkat puskesmas atau klinik pratama.

Tentunya anda akan berfikir pasti ada yang salah di Puskesmas. Kemudian makin mengerucut apa yang salah? Sumberdaya Manusia (SDM) nyakah atau yang lainnya? Sebelum kita menentukan apa yang salah, tentunya di butuhkan identifikasi permasalahan yang berkembang di lapangan.

Masalah Di Puskesmas adalah jumlah puskesmas masih jauh panggang dari api. Data menyebutkan idealnya 100.000 yang tersedia baru 10.000. Berarti masih banyak masyarakat yang berobat di luar puskesmas dan pada akhirnya ke rumah sakit.

Dari 10.000 puskesmas yang dibutuhkan, yang terisi dokter hanya 3.000 puskesmas. Berarti ada 7.000 puskesmas yang tidak mempunyai seorang dokter. Pelayanan puskesmas oleh paramedik dan bidan wajib menangai 144 penyakit namun akhirnya banyak juga yang diabaikan dan tentunya rujukan ke rumah sakit tetap tinggi.

Banyak puskesmas yang tidak memiliki EKG (Elektrokardiogram). Sehingga untuk menentukan chest pain itu karena penyakit jantung atau bukan agak kewalahan. Sehebat-hebatnya dokter bahkan sudah jadi “dokter spesialis layanan primer” ( SpLp) sekalipun, tentunya tidak akan mampu menentukan apakah kasus jantung atau tidak tanpa bukti objektif dari hasil EKG.Di Cilegon, Banten dari 8 puskesmas yang memiliki USG (Ultrasonografi), hanya 4 puskesmas yang berfungsi. Hal ini cukup dengan bikin pelatihan USG, bukan harus bikin sekolah spesialis layanan primer.

Banyak dokter yang memilih bertugas tersentralisasi di perkotaan sehingga kurangnya dokter di daerah terpencil. Banyak juga dokter bertugas hanya 2-3 hari, selebihnya yang bertugas paramedik dan bidannya. Hal ini bisa di tingkatkan dengan kedisiplinan oleh dinas kesehatan setempat bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setempat. Tapi bukan lantas harus sekolah untuk mendapatkan gelar SpLP. Kira-kira bisakah setelah sekolah dan mendapatkan gelar SpLp merubah kedisiplinan? Saya kira tidak tepat sasaran.

Jika pemerintah memaksakan bahwa SpLp itu harus diberlakukan tentunya kita harus kalkulasi apa yang akan terjadi. Sudah terlihat pasti akan lahir kastanisasi terhadap dokter umum. Pelayanan kesehatan tingkat dasar di pusksemas akan terbengkalai karena para dokter untuk akan berusaha meningkatkan kasta dalam tanda kutip. Antrian panjang untuk pendidikan dengan universitas akreditasi A yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah dokter yang akan melakukan pendidikan.

Tentu ini menambah keuntungan bisnis pendidikan kedokteran lagi. Sebaliknya, biaya pendidikan diprediksi bakal naik tajam yang tentunya akan menjadi beban tanggung jawab orang tua para calon dokter.

Setelah lulus, meskipun sudah menyandang gelar dokter SpLp (Spesialis Layanan Primer) namun karena sarana di puskesmas yang minim pada akhirnya akan juga merujuk pasiennya lagi ke rumah-rumah sakit.

Kita akan melihat keduanya melalui analisa SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Bila sarana dan prasarana yang tingkatkan maka, Strengths: bisa menangani beberapa kasus. Misalnya EKG untuk jantung. USG untuk menentukan letak anomali janin. Laboratorium sederhana untuk menentukan anemia, demam berdarah dan lainnya. Weaknesses : butuh dana besar. Oppurtunities: peluang untuk menjadikan puskesmas lengkap dengan nilai jual tinggi. Threats: Maintenance alat dan SDM yang kurang kapasitas untuk menjalankan fungsinya.

Bila kapasitas SDM dokternya di tingkatkan maka, Strengths: kapasitas SDM dokter jadi handal, Weaknesses : tidak di dukung sarana dan prasarana. Opportunities : dapat bersaing. Threats: kastanisasi dokter.

Jika dinilai dengan risk management (manajemen resiko) yaitu Risk = Probabilities X saverity (keparahan penyakit) maka, Risk = probabilities di rujuk ke rumah sakit X keparahan penyakit.

Jika sarana dan prasarana diperbaiki tentunya tingkat resiko untuk dirujuk menjadi menurun. Sebaliknya jika SDM dokternya ditingkatkan tetapi sarana dan prasarana tidak di tingkatkan atau rendah akan tetap rujukan meninggi.

Sebagai contoh seorang profesor ahli KHOM (Konsultan Hematologi dan Onkologi atau ahli penyakit darah dan kanker) namun tidak ada laboratorium darah, maka ilmunya akan sia-sia karena tidak ada sarana penunjang yang mumpuni dalam dia bekerja. Pemerintah hendaklah melihat semua aspek sebelum kita mengambil langkah kebijakan.

Secara perundangan, Undang-undang Pendidikan Dokter No 2 Tahun 2013 jelas berseberangan dengan Undang-undang Praktek Kedokteran No 29 Tahun 2004. Yang satu menyatakn dokter itu meliputi dokter layanan primer, sementara yang lain menyatakan hanya dokter. Secara hirarki hukum, berlaku bahwa hukum yang baru tidak boleh berseberangan dengan hukum terdahulu.

Kesimpulannya, pemerinta dalam hal ini Kementerian Kesehatan harus membuka mata. Melihat aspek di lapangan sudah lengkapkah sarana dan prasarana di layanan primer?? Nyatanya jauh panggang dari api. Ya perbaiki dulu itu semua. Setelah baik tapi masih juga tingkat rujukan tinggi baru berpikir untuk kompetensi dokter umum yang kudu diperbaiki.

*Penulis adalah dokter di Klinik Pratama Pelangi Bunda, Cilegon, Banten

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru