JAKARTA- Situasi politik Indonesia saat ini tidak stabil karena pertarungan politik terjadi hampir disetiap instrumen negara maupun partai politik. Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara kehilangan leadership sehingga kesulitan mengambil keputusan. Demikian Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Sri-Edi Swasono kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (25/3).
“Leadership tidak terasa, absen. Negara penuh kekacauan, tawur politik, perang pengaruh, perang antar dalang politik dan ideolagi. Kaum imperialis rebutan pengaruh dan negara jadi bancaan,” ujarnya.
Kepala negara menurut salah satu pimpinan Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini terikat dalam politik hutan budi dan transaksional yang menyulitkan kepemimpinannya.
“Sehingga tidak bisa memberikan komando. Karena tongkat komando sedang jadi rebutan. Ada masalah ‘hutang budi’ karenaleadership nasional sifatnya transaksional. Jadi leadership kehilangan esensi ketangguhan. Tidak televan lagi hukum besi the right man in the right place, semua serba medioker. Selama 4 bulan masih terus bayar utang budi, atau memang tidak bisa ambil keputusan sebagai komandan,” ujarnya.
Ia mengatakan hingga saat ini tidak diketahui sampai kapan politik hutang budi ini berlangsung. Padahal situasi saat ini dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang kuat untuk mengatur kembali tatanan bernegara.
“Wayang lunglai tanpa tulang, ‘ilang gapite’. Kepala Negara ada di mana? Hutang budi tidak kelar–kelar. Karena leadership adalah pra-bayar sekaligus pasca-bayar. Jabatan adalah ‘barang perniagaan’. Siapa yang harus acts suicidal, rakyat, bangsa dan negara, atauleader ?” katanya.
Sri-Edi Swasono mengingatkan sejarah pendirian Republik Indonesia yang harusnya menjadi fondasi dalam menjalankan kekekuasaan.
Bung Karno menegaskan pada 17 Agustus 1959:
“…Apa yg kita namakan Pemerintah stabil? Pemerintah yg dpt bekerja teguh, tenang, tidak untuk menjamin kepentingan asing, tetapi menjamin sandang pangan Rakyat…”
Bung Hatta mengatakan sebelumnya pada sewindu PWI, 11 Februari 1954:
“…Kita harus menghasilkan barang-barang keperluan hidup kita, yang bahannya ter dapat di Tanah Air sendiri…impor barang-barang konsumsi dan pakaian harus diperkecil berangsur-angsur…kepentingan golongan saudagar Indonesia harus diperlindungi terhadap kapital asing…”
“Apa yang dicetuskan Bung Hatta 1954, ditekankan kembali oleh Bung Karno dalam pidaťo TRISAKTI 1963,” ujarnya. (Dian Dharma Tungga)