JAKARTA- Serikat Tani Nasional (STN) juga mengusulkan agar di dalam Perppu Reforma Agraria yang dibentuk oleh pemerintah Jokowi juga mengatur pembentukan Pengadilan Agraria.
“Pengadilan umum yang saat ini tidak bisa menyelesaikan konflik agraria, malahan memperparah konflik karena sarat dengan korupsi. Saat ini rakyat membutuhkan Pengadilan Agraria yang dapat menegakkan keadilan buat rakyat,” demikian Sekretaris Jenderal Serikat Tani Nasional (STN), Binbin Firman Tresnadi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (23/9) dalam memperingati Hari Tani Nasional 24 September 2014.
Menurutnya, Pengadilan Agraria atas masukan dari Dewan Reformasi Agraria Nasional (DRAN) memutuskan menghentikan atau mencabut ijin operasional perusahan yang berdasarkan hasil audit agraria oleh terbukti melanggar hukum, atau merugikan negara, atau merugikan kemakmuran rakyat, atau merugikan lingkungan, dan atau lahir karena adanya unsur KKN (Korupsi, Kolusi, atau Nepotisme-red).
“Pengadilan Agraria melaksanakan pencabutan kepemilikan hak atas tanah dan hak pengelolaan perairan ke Pengadilan Agraria terhadap tanah-tanah terlantar dan pemanfaatan objek agraria yang tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat,” tegasnya.
Tugas DRAN
Ia menjelaskan fungsi dan tugas Dewan Reforma Agraria Nasional adalah melakukan audit agraria, yakni legalitas kepemilikan dan segala perijinan pemanfaatan sumber daya alam. Diharapkan dari proses ini akan diketahui akar masalah dan peta konflik agraria.
“DRAN dapat menghentikan untuk sementara waktu atas segala ijin operasional perusahaan yang menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat,” tegasnya.
DRAN menurutnya dapat mengajukan permohonan penetapan (Bukan Gugatan, karena prinsipnya segala objek agraria adalah dikuasai oleh negara) pencabutan kepemilikan hak atas tanah dan hak pengelolaan perairan ke Pengadilan Agraria terhadap tanah-tanah terlantar dan pemanfaatan objek agraria yang tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat.
“Mengajukan permohonan penetapan pencabutan kepemilikan hak atas tanah dan hak pengelolaan permukaan perairan ke pengadilan agraria yang didapatkan dari hasil perampasan hak – hak milik rakyat,” ujarnya
Kompensasi dan Rehabilitasi
DRAN juga menurutnya dapat menuntut ganti kerugian ke Pengadilan Agraria atas segala kerugian negara yang diakibatkan beroperasinya perusahaan pengelola sumber – sumber agraria secara melawan hukum.
“DRAN juga memberikan rekomendasi atas konpensasi dan rehabilitasi kepada masyarakat yang telah menjadi korban disektor agraria, yang mengikat kepada pemerintah,” jelasnya.
Selain itu, DRAN dapat melakukan redistribusi atas tanah-tanah rakyat yang sebelumnya dirampas oleh pihak lain. DRAN juga berwenang melakukan distribusi tanah-tanah negara yang terlantar kepada petani yang membutuhkan.
Kerugian Negara
Menurut Konsorsium Pembaharuan Agaria (KPA), Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghitung bahwa persoalan konflik agraria telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara optimal seluas 607.886 hektar atau seluas 6.078.860.000 m2.
Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa, jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp. 91,1829 Triliun. Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dengan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp.146,804 Triliun. (Tiara Hidup)