JAKARTA- Serikat Tani Nasional (STN) mengusulkan agar Dewan Reforma Agraria Nasional (DRAN) yang dibentuk lewat Perppu Reforma Agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah Jokowi untuk menata ulang pemanfaatan lahan,– bersifat ad-hoc dan bekerja selama sepuluh tahun. DRAN juga bertugas menyiapkan pendirian Badan Agraria Nasional (BAN).
“BAN akan berkedudukan setingkat dengan kementerian, dengan kewenangan menentukan kebijakan tata ruang dan pemanfaatan sumber daya agraria memberikan hak kepemilikan berupa sertifakat,” jelas Sekretaris Jenderal Serikat Tani Nasional (STN), Binbin Firman Tresnadi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (23/9) dalam memperingatai Hari Tani Nasional 24 September 2014 di Jakarta.
Menurutnya BAN juga memberikan rekomendasi perijinan yang mengikat atas pemanfaatan sumber-sumber daya agraria kepada pejabat yang berwenang.
“Jika rekomendasi perijinan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka berakibat ijin tersebut batal, dan kerugian yang diderita akibat perijinan yang tidak sesuai rekomendasi tersebut menjadi tanggungjawab pribadi pejabat yang mengeluarkan ijin dan pihak penerima ijin tersebut, baik secara pidana maupun perdata,” tegasnya.
Ia menjelaskan, jika terjadi kesalahan secara sengaja dalam memberikan rekomendasi, tidak sesuai dengan kebijakan pemanfaatan sumber daya agraria yang telah ditetapkan, maka segala kerugian akan ditanggung oleh pemberi rekomendasi, pejabat penerima rekomendasi serta pihak penerima ijin pemanfaatan sumber daya agraria.
Ketimpangan Struktural
Sementara itu Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) memaparkan bahwa, konflik agraria yang merebak adalah tanda utama dari kebutuhan untuk segera dilaksanakannya Pembaruan Agraria. Karena konflik yang terjadi selalu disebabkan oleh alasan-alasan ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria – atau yang disebut ketimpangan struktur agraria. Soal ketimpangan struktur agraria ini, menjadi persoalan utama yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat sepanjang kekuasaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama sepuluh tahun terakhir.
Karakter sengketa dan konflik agraria yang dimaksud oleh KPA adalah bersifat kronis, massif dan meluas; berdimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi. Sengketa juga merupakan konflik agrarian structural, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan penggunaan tanah serta pengelolaan SDA menjadi penyebab utama. Penerbitan ijin-ijin usaha penggunaan tanah dan pengelolaan SDA tidak menghormati keberagaman hukum yang menjadi dasar dari hak tenurial masyarakat. Dalam berbagai konflik juga telah terjadi pelanggaran HAM. (Tiara Hidup)