JAKARTA- Negara dan pemerintah telah gagal mengadilkan struktur kepemilikan tanah yang menjadi cita-cita proklamasi 1945 dan UUD 1945. Dominasi kepentingan modal telah berhasil mempertahankan struktur kepemilikan tanah yang tidak adil dengan cara mengubah arah UUD’45 dalam amandemen dan menerbitkan berbagai Undang-undang yang mensahkan berbagai eksploitasi alam untuk kepentingan kapitalisme internasional. Untuk itu rakyat tani membutuhkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Reforma Agraria. Hal ini ditegaskan oleh Serikat Tani Nasional (STN) dalam memperingati hari tani nasional 24 September 2014.
“Karena, saat ini, rakyat tani selalu menjadi korban, karena kepentingan akumulasi modal yang menentukan arah berbangsa dan negara,” tegas Sekretaris Jenderal STN, Binbin Firman Tresnadi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (23/9).
Menurutnya, dibutuhkan kemauan politik pemimpin negara dan pemerintahan yang benar-benar pro-rakyat untuk berani kembali pada Preambule UUD’45 yaitu pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
“Perppu itu untuk mencabut pasal-pasal tentang pengaturan objek-objek agraria dalam berbagai undang-undang,” jelasnya.
Ia juga menegaskan, Perppu Reforma Agraria dibentuk dibuat untuk mencabut kewenangan lembaga-lembaga sektoral dan pemerintah daerah dalam undang-undang berkaitan dengan sumber-sumber agraria.
“Perppu itu juga menegaskan pengakuan atas berlakunya kepemilikan adat berdasarkan hukum adat setempat dan kearifan lokal suatu daerah,” ujarnya.
Izin Ilegal
Saat ini menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), di bidang Kehutanan misalnya, melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan, pemerintah telah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan adalah 136,94 juta hektar atau 69 persen wilayah Indonesia. Dari sisi pengusahaan kawasan hutan, terjadi ketimpangan yang sangat besar. Menurut data Kemenhut, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektare dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Selain itu, luas HPH di Indonesia 21,49 juta hektar yang dikelola oleh 303 perusahaan HPH saja. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar.
Di bidang perkebunan hal yang sama pun terjadi, sedikitnya 9.4 juta hektar tanah telah diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit saja. Tidak berhenti disitu, pengadaan tanah bagi perusahaan pangan juga terus terjadi, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin 2 juta hektar tanah di Merauke kepada hanya 41 perusahaan saja melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain itu, hal serupa terjadi pada pertambangan, 64,2 juta hektar tanah (33,7% daratan) telah diberikan izin kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Angka ini belum termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 41,750,107 Ha, Kontrak Karya (KK) total luasan 22,764,619.07 Ha dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seluas 7,908,807.80 Ha.
Padahal, sedikitnya terdapat 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten. (Tiara Hidup)