Selasa, 1 Juli 2025

SUAKA: Pengungsi Menjadi Gigolo, Murni Kriminalitas

JAKARTA- Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI mengamankan 10 pria pencari suaka yang diduga menjadi gigolo di Batam. Pihak imigrasi menyatakan bahwa para pelaku menyalahgunakan sertifikat pencari suaka yang diterbitkan oleh UNHCR untuk melakukan tindak pidana tersebut karena mereka tak lagi tinggal di Rumah Detensi Imigrasi atau berada di bawah tanggung jawab UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

Kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (10/9) dilaporkan SUAKA sangat menyayangkan pernyataan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ronny Franky Sompie yang menyatakan akan melakukan pendeportasian terhadap para pengungsi yang terlibat dalam kasus ini.

“Kami menilai bahwa peristiwa ini murni kriminalitas dan tidak ada kaitannya apakah sang pelaku merupakan pencari suaka atau bukan. Pihak keimigrasian dan polisi hendaknya menangani kasus ini secara hati-hati agar tidak sampai melekatkan stigma kepada pencari suaka atau pengungsi lainnya yang sedang mencari perlindungan di Indonesia,” ujar Febi Yonesta, koordinator SUAKA, Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Perlindungan Hak Pencari Suaka dan Pengungsi, LSM Indonesia yang aktif mengadvokasi hak pengungsi internasional.

Indonesia sebagai anggota komunitas masyarakat internasional dan juga anggota PBB terikat dengan International Customary Law, yaitu Prinsip Non-Refoulement. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah negara yang akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi.

“Para pencari suaka atau pengungsi adalah orang yang menghadapi masa berat di negaranya masing-masing. Mereka merupakan korban persekusi yang didasarkan pada SARA dan persekusi tersebut dilakukan baik oleh pemerintahnya atau kelompok lain di negara asal mereka. Mereka dilindungi oleh ketentuan hukum internasional dan setiap negara penerima wajib melindungi hak mereka,” ujarnya lagi.

 Menurutnya, pencari suaka dan pengungsi juga kerap mengalami himpitan ekonomi dan menghadapi banyak kesulitan di negara yang menampung mereka karena banyak negara, salah satunya Indonesia, belum mengakui hak-hak mereka sebagaimana diatur di dalam Konvensi Pengungsi Tahun 1951.

“Indonesia belum meratifikasi ketentuan internasional tersebut. Inilah sebabnya mengapa para pencari suaka dan pengungsi, terutama mereka yang berusia anak, rentan menjadi korban kriminalitas dan eksploitasi perdagangan orang,” pungkas Alldo Fellix Januardy, pengacara pengungsi internasional SUAKA.

Perlu dicatat, pelaku eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak dapat dijerat sanksi pidana selama maksimal 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) berdasarkan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kasus ini juga harus dijadikan pijakan bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi yang berkaitan dengan perlindungan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia. Jangan sampai ada anak-anak pencari suaka atau pengungsi lain menjadi korban eksploitasi di masa depan,” tambah Alldo Fellix Januardy.

Febi Yonesta mengatakan, seluruh pelaku kejahatan, baik itu pencari suaka atau bukan, tetap harus diproses hukum, tetapi negara tetap wajib melaksanakan kewajibannya berdasarkan ketentuan hukum internasional untuk melindungi para pencari suaka dan pengungsi di Indonesia.

“Tapi jangan sampai kasus ini justru menjadi sarana untuk menstigmatisasi mereka,” tutup Febi Yonesta. (Telly Nathalia)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru