Rabu, 11 September 2024

Sunat Perempuan, Negara Sahkan Penyiksaan

JAKARTA- Menjelang Perayaan Anti Penyiksaan Internasional 2014, Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT)menyatakan menolak praktek-praktek pemberlakuan sunat dengan cara menindik, menyayat, atau memotong sebagian  dari genital perempuan. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menegaskan bahwa sunat perempuan termasuk dalam kategori Female Genital Mutilation (FGM), telah melanggar konvensi Anti penyiksaan.  Regulasi Kementerian kesehatan yang memperbolehkan sunat perempuan menunjukkan negara telah mengesahkan penyiksaan terhadap perempuan.

Anggota WGAT dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati mengatakan bahwa sampai dengan saat ini sunat perempuan masih dipertahankan di banyak tempat di Indonesia. Sebuah Riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan 68 persen sunat perempuan di Sulawesi Selatan dan Banten misalnya, masih menggunakan jasa dukun (non medis-red).

“Riset itulah yang menjadi dasar Menteri Kesehatan pada tahun 2006 mengeluarkan larangan sunat perempuan yang dituangkan dalam Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Nomor HK 00.07.1.31047a, tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan,” jelasnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (23/6).

Ia mengatakan, di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Madura, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi, praktik sunat perempuan masih menjadi tradisi yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, atas legalisasi agama.

Walaupun beberapa pihak termasuk Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa praktik sunat perempuan di masyarakat Indonesia hanya dilakukan secara simbolik karena merupakan ritual budaya untuk bayi dan anak perempuan, agar mereka dinyatakan suci sebagai  perempuan.

“Tetapi ternyata praktik seperti menindik, menusuk, bahkan memotong sebagian dari organ genital bayi perempuan juga masih dilakukan, dan dalam perkembangannya bahkan dilakukan oleh petugas kesehatan, di Rumah Sakit dan klinik-klinik persalinan dengan alasan praktek sunat akan jauh lebih ideal karena dilakukan secara medis, sehingga prosesnya hygienis,” ujarnya.

 

Berdampak Panjang

Terkait dengan hal tersebut, Mike Verawati juga menyatakan bahwa pemberlakuan sunat dengan cara menindik, menyayat, atau memotong sebagian atau sekalian ini masuk dalam kategori Female Genital Mutilation (FGM) yang tidak hanya berdampak rasa sakit yang hebat pada saat proses sunat terjadi, tetapi berdampak panjang pada perempuan ketika mereka berusia dewasa kemudian.

“Beberapa testimoni dari perempuan yang mengalami FGM merasakan dampak akibat berkepanjangan seperti kehilangan kepekaan yang berakibat kesakitan dalam aktivitas seksual,” tegasnya.

Pendapat yang dikeluarkan oleh beberapa dokter ginekolog juga menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada  relevansi yang kuat antara sunat perempuan atau FGM dalam kaitannya kebersihan seorang perempuan.

Ia juga menegaskan bahwa tindakan FGM sebagai tradisi sunat perempuan di Indonesia juga  dikuatkan oleh regulasi Kementerian Kesehatan saat ini merupakan bukti bahwa negara melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat manusia, seperti yang disebutkan dalam pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indoensia dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

“Secara tegas juga praktek FGM melanggara Hak Sipil Politik yang juga telah diratifikasi dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005, dan merupakan bagian dari tindakan diskriminatif terhadap perempuan seperti yang tertuang dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,” ujarnya.

 

Batalkan Regulasi

Walaupun demikian pelaksanaan sunat perempuan dan FGM juga sangat dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih sangat percaya sebagai kewajiban menjalankan perintah agama dan adat tradisi  lokal yang secara tidaklangsung  misoginis (kebencian terhadap kaum perempuan-red)

Sehingga perlu berbagai upaya dan komitmen kuat yang dilakukan pemerintah selain dengan tinjau ulang atau pembatalan  regulasi yang memperbolehkan sunat perempuan yang juga upaya pendidikan dan pemahaman masyarakat.

Atas berbagai fakta diatas, dalam menyambut Hari Penyiksaan Internasional, WGAT kembali menyuarakan agar pemerintah Indonesia terutama Kementerian Kesehatan berkomitmen penuh untuk melakukan tinjau ulang dan revisi regulasi yang melegitimasi praktik sunat perempuan di Indonesia.

Juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan serangkaian upaya strategis agar masyarakat memiliki pemahaman tentang dampak buruk dari praktik sunat perempuan yang dapat mengurangi hak kaum perempuan untuk penikmatan Hak Asasi Manusia.

WGAT adalah kerjasama antara ELSAM [Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat], ICJR [Institute For Criminal & Justice Reform], HRWG [Human Rights Working Group], PBHI [Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia], YPHA [Yayasan Perlindungan Hak Anak], KPI [Koalisi Perempuan Indonesia], LBH Jakarta dan  Elpagar Kalbar. (Tiara Hidup)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru