Oleh: Dr. Maruly H. Utama
SAAT beranjak dari kursi untuk ikut antrian masuk kedalam pesawat tujuan Jakarta, saya melihat Andi Arief bersama Deviyanti, isterinya yang baik dan cantik. Segera saya mendekat dan tanpa basa basi langsung berkata, dukung Budiman gak?
Dia tampak kaget sempat diam beberapa detik karena tidak menyangka mendapat pertanyaan itu. “Gua diam saja,” katanya. “Tidak boleh diam” tukasku.
Andi menatap tajam lalu bicara menyampaikan kritik pada Budiman dan menutup pembicaraan dengan kalimat “Mudah-mudahan berhasil,” katanya.
Saya tersenyum puas mendapat jawaban yang obyektif karena dalam posisinya sebagai panglima perang Partai Demokrat, tidak mungkin Andi menyatakan dukungan langsung pada Budiman.
Obrolan singkat tentang Budiman beralih ketika Devi mengajak ngobrol untuk bertukar kabar tentang keluarga dan anak-anak.
Dalam penerbangan selama 40 menit dari Lampung tujuan Jakarta, tidak memungkinkan melanjutkan obrolan karena tempat duduk kami berjarak hampir 10 meter. Bermain hp dilarang, tidak ada Koran atau majalah yang bisa dibaca, makanan dan minuman juga tidak disediakan karena memang layanan penerbangan kelas ekonomi fasilitasnya terbatas.
Dalam diam ingatanku terlempar pada peristiwa puluhan tahun yang lalu. 22 Juli 1996 pagi hari, sekretariat PRD di Tebet sudah memulai aktivitas. Beberapa orang antri didepan kamar mandi, ada yang mengecek spanduk, selebaran, ikat kepala dan syal yang bertuliskan PRD. Ada yang latihan bernyanyi mars PRD. Ada yang telpon-telponan menggunakan telepon kantor. Semua sibuk untuk mempersiapkan deklarasi PRD di YLBHI jalan Diponegoro 74 siang hari nanti.
Di tengah kesibukan itu ada kawan yang ngomel karena ditugaskan membeli kemeja putih untuk dikenakan Budiman. Begitulah Budiman, dia tidak pernah peduli dengan dirinya sendiri. Kemeja yang dikenakannya terlihat lusuh padahal siang hari nanti sorot kamera akan tertuju padanya karena dia yang akan membacakan Manifesto PRD.
Bukan hanya pada peristiwa pagi hari jelang deklarasi yang menjadi momen penting bagi PRD. Sebelumnya banyak kawan yang menggerutu pada Budiman karena dianggap pemalas. Ketika ditugaskan mengorganisir petani saat di Komite Rakyat awal tahun 90-an, Budiman lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.
Seorang kawan menjelaskan, rupanya, bagi Budiman, Budiman selalu mempraktekkan apa yang dibaca dalam pengorganisiran. Bentuknya adalah agitasi propaganda menyadarkan dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat dalam setiap rapat dan temu rakyat. Dari Cilacap, Parangtritis, Blangguan, Ngawi dan berbagai basis tani di era 80-90-an. Ini yang dilakukan Budiman sampai hari ini. Menyadarkan dan membangkitkan. Mendialektikakan teori dan praktek, yang kita kenal sebagai praksis!
Budiman akan melakukan kerja-kerja politik dengan sepenuh hati ketika harus berdiskusi atau orasi dalam forum yang sudah disediakan oleh teman-temannya. Untuk soal ini jangan pernah meragukan Budiman. Sulit rasanya mencari lawan debat yang tangguh untuk mengimbangi Budiman. Begitupun saat melihat Budiman orasi, semua orang dibuat terpesona oleh kemampuannya.
Saat pidato yang tidak lebih dari 10 menit saat Deklarasi Relawan Prabu (Prabowo-Budiman) Bersatu di Semarang, saya melihat secara langsung ekspresi Prabowo Subianto yang terkagum-kagum mendengar semangat Budiman dan berulangkali tepuk tangan melihat Budiman pidato. Mungkin setelah mendengar pidato inilah yang membuat Prabowo begitu tulus memeluk Budiman yang fotonya viral diberbagai platform media sosial.
Awal tahun 2000 an, sesaat setelah menemui Prabowo. Budiman pernah datang sendirian ke hotel Twin Plaza Slipi, sementara Andi Arief bersama saya. Disana kami diskusi soal info yang baru didapat tentang kawan-kawan yang hilang. Kesimpulannya pada saat itu adalah kawan-kawan hilang karena ada teman yang bekerja di organ legal berhubungan langsung dengan anggota Tim Mawar.
Tim Mawar menyusup pada organ legal PRD tanpa kita ketahui. Ironisnya, orang yang berhubungan dengan Tim Mawar itu ikut mengecam langkah politik Budiman. Busuk!
Setelah pertemuan itu Budiman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya. Sepulang dari Inggris aku dengan beberapa teman dari Banten menemui Budiman di hotel Haris Tebet. Saat itu Budiman sedang menjadi pembicara dalam sebuah acara. Setelah menunggu beberapa saat belum ada tanda-tanda Budiman akan keluar, dari kaca pintu aku menjulurkan leher agar terlihat. Seketika Budiman menghentikan pembicaraannya dan langsung menemuiku.
Saat berjalan kearahku, setengah berteriak dia berkata “Maruly Bandung!” Budiman memang unik, walaupun aku sudah menetap di Banten kemudian pindah ke Lampung dia tetap memanggilku Maruly Bandung.
Pembicaraan dengan Budiman tetap hangat, diskusi dengannya saat itu menjadi headline beberapa koran dan majalah di Banten keesokan harinya dengan judul ”Menuntaskan yang Belum Tuntas”, judul yang diambil dari bahasa Budiman saat diskusi. Tidak ada yang berubah, Budiman tetap menganggap kawan padahal saat itu dia sudah masuk dalam jajaran elite PDIP.
Sepulang dari hotel Haris aku mampir ke Tebet dan bertemu dengan beberapa orang kawan. “Ngopi gak? Siapa yang bayar?” Pertanyaan nyinyir seperti ini muncul ketika aku bercerita baru bertemu Budiman. “Jika aku ingin ngopi atau ingin ditraktir sudah pasti aku tidak mengajak Budiman,” selorohku.
Bertahun kemudian, pun saat Budiman menjabat sebagai anggota DPR RI, bullying terhadap Budiman semakin menjadi-jadi. Dari yang tidak pernah membawa dompet hingga olok-olok yang menyebut Budiman nir-empati semakin meluas dikalangan kawan-kawan. Tentu Budiman merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Harapan kawan-kawan terhadap Budiman terlalu tinggi sementara Budiman sendiri belum mampu mengakomodir harapan itu. Sampai hari ini rumahpun masih ngontrak berpindah-pindah!
Budiman kemudian pergi dan menjauh dari linkaran Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dia mencari kawan yang bisa menerima dia apa adanya. Sederhananya dia mencari kawan yang bisa dan mau “mengurusnya”. Setelah bertemu teman-teman baru, mereka melakukan manuver politik paling keren di abad 21. Sejak tanggal 18 Juli hingga tulisan ini dimuat Budiman tetap menjadi tranding topic. Dari mendorong UU Desa, Bukit Algoritma, advokasi pemerintahan desa sampai mendukung Prabowo 2024. Semua kontroversi dilewatinya susah payah dan tetap teguh.
Ketika terjadi fitnah terhadap Budiman semua diam malah ikut mengambil porsi mengecam dengan mengatakan Budiman kelaparan, opurtunis dan pragmatis. Perkawanan macam apa yang sedang dipertontonkan pada generasi dibawah kita? Berlaku seperti Shane Lucas dalam episode Mario Dandy. Kejam! Apakah hanya Megawati dan Jokowi saja yang boleh merangkul dan memeluk Prabowo?
Kita satu frekuensi dalam melihat peristiwa 1948. Itu adalah provokasi Hatta yang kematian Muso dan Amir Syarifudin tidak bisa dicegah oleh Soekarno. Apakah kemesraan Aidit dan Soekarno pada tahun 50 hingga 60-an bisa dikatakan pengkhianatan terhadap perjuangan Muso dan Amir? Kerdil!
Jangan cengeng Bung! Budiman tidak akan melakukan manuver jika kita bisa menjaga dan mengurusnya. Kita abai terhadap Budiman. Ada kelompok lain yang melihat potensi besar pada Budiman dan mereka bisa mengelola potensi itu dengan baik.
Jika WJ Thukul hilang karena campur tangan kelompok lain yang tidak berkoordinasi dengan kita maka Budiman justru menemukan momentum politiknya ketika ada kelompok lain yang mau mengurusnya.
Di Semarang, Prabowo meminta maaf pernah memburu Budiman dan kawan-kawannya. Budiman memaafkan dan mengajak bersatu menghadapi tantangan bangsa Indonesia hari ini dan besok. Persatuan nasionalis menjadi landasan pijak episode politik Budiman berikutnya, mengajak rakyat bersatu menyambut Indonesia adil makmur sejahterah.
“Ini semua adalah sinthesa dari thesa, anti-thesa sejarah perjuangan kita, menjadi thesa dengan kualitas terbaru,” tegas mantan Ketua PRD ini.
*Penulis, Dr. Maruly H. Utama, Propagandis Prabu – Prabowo Budiman Bersatu